Pembahasan RUU Migas hingga kini belum jua tuntas, padahal sudah dari 2008.
Pemerhati energi dari Universitas Gajah Mada, Fahmy Radhi menengarai ada sejumlah pihak yang memaksakan agar revisi UU Migas ini tetap jalan di tempat.
"Kenapa pembahasannya sampai sekarang belum tuntas, padahal sudah dibahas sejak 2008, karena ada pihak yang ingin revisi UU Migas masih bersifat liberal, sama seperti UU Migas saat ini," ujar dia via telepon.
Fahmy pun menduga berlarutnya pembahasan RUU Migas karena ada pihak-pihak yang masih menginginkan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) saat ini tetap diberlakukan.
"Jadi semacam seperti dibuat status quo agar UU Migas saat ini masih diberlakukan. UU Migas saat ini sangat liberal, jadi memang banyak yang menginginkan UU itu tetap berlaku, terutama para pemburu rente," jelas dia.
Dia menambahkan, di dalam UU Migas yang berlaku saat ini, PT Pertamina (Persero) ditempatkan sama dengan kontraktor-kontraktor asing lainnya sehingga dia harus ikut tender apabila ingin turut dalam pengelolaan migas.
"Ini jelas sangat merugikan Pertamina sebagai BUMN yang 100 persen sahamnya dimiliki negara. Semestinya pengelolaan migas terlebih dahulu diberikan kepada Pertamina sebagai perusahaan milik negara," ujar dia.
Apabila Pertamina tidak mampu, kata dia, kemudian diberikan kepada investor asing.
"Seharusnya, liberalisasi menciptakan efisiensi. Namun, kini pemilik modallah yang akhirnya menguasai," jelas dia.
Fahmi lantas mendesak pemerintah dan juga DPR untuk segera menuntaskan pembahasan revisi UU Migas.
"Kalau tidak, alternatifnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Upaya melakukan perubahan harus segera dilakukan karena ini berbahaya sekali," katanya.
Fahmy menambahkan, dirinya pada Selasa (25/10) diundang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk membahas percepatan RUU Migas.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi pernah berkomentar, komisinya pesimistis revisi UU 22/2001 bisa rampung akhir tahun ini, karena perdebatan substansi revisi oleh antarfraksi sangat alot.
"Lambatnya revisi UU Migas tidak bisa terhindarkan, karena seluruh fraksi di Komisi VII memiliki argumen dan pandangan terkait poin-poin revisi," ujarnya belum lama ini.
Poin krusial yang menjadi perdebatan, jelas Kurtubi, menyangkut posisi pemerintah terkait kuasa pertambangan migas.
[wid]