Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) menilai program hilirisasi tambang oleh pemerintah cuma retorika belaka. Sebab, hilirisasi bijih bauksit menjadi alumina sekarang tidak memberikan keuntungan. Pengusaha minta ekspor bauksit dibuka lagi.
Ketua APB3I Erry Sofyan mengatakan, saat ini tidak terdapÂat industri yang siap untuk menyÂerap produksi bauksit. Sementara, pembangunan pabrik pemurnian bauksit berbeda dengan mineral lain pada umumnya.
"Kajian APB3I menemuÂkan beberapa kendala untuk membangun pabrik pemurnian bauksit, di antaranya adalah pembiayaan yang sangat beÂsar, mencapai triliunan rupiah, teknologi yang belum dipunyai oleh Indonesia dan sumber daya manusia yang masih perlu diÂlatih," ujarnya, kemarin.
Menurut dia, pembangunan pabrik pemurnian yang dipakÂsakan tanpa perencanaan dan persiapan memadai seperti yang terjadi saat ini, membuat industri bauksit banyak dikuasai oleh pihak asing.
Anggota APB3I Peng Tjoan mengatakan, kebijakan pemerÂintah yang mewajibkan pemÂbangunan pemurnian bauksit menjadi alumina tidak tepat karena hanya berdasarkan retoÂrika semata. Ia menilai kebijakan tersebut tidak didasarkan kajian ekonomis.
"Banyak pihak yang tidak memahami bahwa membuat 1 ton alumina selain dibutuhkan bauksit juga dibutuhkan caustic soda, energi, mesin dan lainÂnya," katanya.
Total biayanya mencapai sekiÂtar 300-350 dolar AS per ton. Padahal harga jual alumnia 10 tahun terakhir rata-rata 300-320 dolar AS per ton.
Menurutnya, hilirisasi sebeÂnarnya baik karena dapat menÂingkatkan nilai tambah. Namun, hal itu jangan retorika semata, tetapi harus dikaji perhitungan ekonominya. "Kita harus realÂistis, jangan hanya idealis saja. Jangan coba melawan hukum ekonomi," tukasnya.
Rawan GugatanDirektur Eksekutif
Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi menilai, aturan relaksasi ekspor konsentrat berpotensi digugat di
World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdaÂgangan dunia. Aturan ini juga rawan digugat investor asing ke lembaga arbitrase internasional dengan menggunakan mekanÂisme
International Centre for Settlement of Investment DisÂputes (ICSID)
Menurut dia, relaksasi ekspor mineral mentah akan dibuka kembali oleh pemerintah akan menimbulkan perlakuan disÂkriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di InÂdonesia. Belum lagi, pengenaan pajak ekspor pada persentase tertentu yang ada di dalam keÂbijakan relaksasi teridentifikasi sebagai export restriction atau ekspor sukarela dalam konteks
non-tariff barriers."Ketika kebijakan larangan ekspor konsentrat diterapkan, InÂdonesia diprotes keras di WTO, bahkan pernah digugat ke ICSID oleh Newmont," ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah Ismail menÂegaskan, relaksasi ekspor minÂeral mentah berpotensi mengÂhilangkan pendapatan dari nilai tambah pembangunan smelter. Dalam konteks ini, kata dia, Freeport Indonesia akan sangat diuntungkan.
"Pemerintah mesti meningÂgalkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan penguÂrasan kekayaan alam dan menÂgancam keselamatan rakyat," tandasnya.
Untuk diketahui, ekspor minÂeral mentah sudah dilarang sejak 11 Januari 2014 silam atau lima tahun sejak diundangkanya Undang-Undang Minerba. NaÂmun pemerintah masih memberi kesempatan bagi mineral hasil pengolahan alias konsentrat untuk diekspor hingga 2017. BaÂtas waktu selama tiga tahun itu agar pelaku usaha bisa memiliki waktu yang cukup untuk memÂbangun smelter.
Pada 11 Januari 2017 merupaÂkan batas akhir izin ekspor konÂsentrat tersebut. Artiannya hanya mineral hasil pemurnian saja yang diizinkan ekspor. Namun hingga jelang pemberlakuan kebijakan tersebut pembanguÂnan smelter belum signifikan. Ada yang baru mencapai 30 persen bahkan ada yang berhenti proyeknya. Hal itu disebabkan oleh lemahnya harga komoditas pertambangan. ***