Berita

Asrorun Ni’am Sholeh/Net

Wawancara

WAWANCARA

Asrorun Ni’am Sholeh: Setidaknya, UU Kebiri Ini Bikin Efek Jera Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak

SENIN, 17 OKTOBER 2016 | 08:29 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengapre­siasi disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebiri menjadi Undang-Undang. Meskipun pengesahannya cukup lama oleh DPR, setidaknya KPAI bisa bernapas lega ada payung hukum lindungi anak-anak dari kejahatan seksual.

Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh menyatakan, saat ini Indonesia masuk dalam kategori kekerasan terhadap anak. Korban berasal dari berbagai kalangan, dan modusnya se­makin beragam. Bahkan belum lama ini ditemukan portitusi anak laki-laki untuk kalangan prilaku seksual menyimpang (gay). Artinya kondisinya sudah sengat parah.

Apa harapan KPAI dengan disahkannya UU tentang Kebiri ini dalam melindungi anak dari kasus kejahatan seksual? Lantas apa tanggapannya soal masih adanya penolakan sejumlah pihak dengan diberlakukannya UU tersebut? Berikut wawan­cara selengkapnya;


Undang-undang ini tentunya tidak bisa mencegah kejahatan seksual terhadap anak di masa depan. Tanggapan anda?
Iya benar. Tapi dengan UUtersebut bisa membuat parapelaku kejahatan seksual anak, berpikir panjang sebelum melakukan tindak kejahatan terse­but. Setidaknya UUini bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku untuk melakukan tindakan serupa. Keberadaan undang-un­dang ini diharapkan bisa menjadi salah satu jawaban, atas beru­langnya kasus kejahatan seksual terhadap anak. Supaya kita bisa memberantas para pelakunya.

Meski sudah disahkan, masih ada pihak yang tidak setuju dengan UU Kebiri ini. Tanggapan anda?

Saya rasa itu hanya masalah keberpihakan saja. Orang kontra terhadap undang-undang karena mempertahankan hak dari para tersangka, dan korban.

Anda tidak masalah masih ada pihak yang menolak UU ini?

Saya sebenarnya bisa mema­hami pemikiran tersebut. Tapi itu kan kalau benturan hak korban dan tersangkanya dalam kondisi normal. Sekarang tidak bisa, kar­ena keadaannya sudah luar biasa darurat kekerasan seks terhadap anak. Perlu cara luar biasa juga untuk menanganinya. Kalau semua pihak memahaminya saya rasa tidak akan ada masalah.

Kenapa mesti begitu?
Sebab yang pelaku lakukan itu sadis, serta sangat merugi­kan korban dan keluarganya. Minimal anak yang menjadi korban akan mengalami trauma berkepanjangan, sehingga masa depannya bisa suram. Atau malah tidak punya masa depan sama sekali, karena anak yang jadi korbannya sudah dibunuh. Bahkan keluarga korban tindak kejahatan seksual itu tidak akan puas meski pelaku dihukum 20 tahun. Mereka merasa tidak adil, karena akibatnya harus di­tanggung seumur hidup. Untuk itu dalam kasus luar biasa sep­erti kekerasan terhadap anak ini, kita harus lebih berpihak kepada korban.

Tapi kan pelaku juga punya hak asasi?
Kita semua memiliki tang­gung jawab untuk memastikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Saya kira soal ini sudah menjadi komitmen bersama. Tapi ketika terjadi benturan perlindungan hak korban dengan hak pelaku dalam tindak keja­hatan seksual, maka hak korban harus dikedepankan. Meski itu artinya membatasi hak dari si pelaku. Supaya keadilan bagi si korban itu bisa terpenuhi.

Tapi bukankah itu artinya mengorbankan keadilan bagi pelaku?

Tidak dong. Hak asasi itu kan memang bisa dibatasi oleh undang-undang. Dan untuk diketahui, dalam undang-un­dang kebiri ini kan tidak hanya berisi hukuman kebiri. Ada yang hanya dipasangi chip, dijatuhi hukuman penjara 10-20 tahun, seumur hidup, hingga kebiri kimiawi. Aparat penegak hukum diberi kebebasan untuk men­etapkan hukuman, tergantung dari apa yang dilakukan oleh pelaku. Dalam undang-undang itu dirinci syarat-syaratnya un­tuk menjatuhkan hukumannya.

Apa saja syaratnya?
Kalau berdasarkan akan dilihat jenis kejahatannya, apa dampak yang ditimbulkan, tersangka mengulang perbuatannya atau tidak, apakah pelakunya tunggal atau tidak, dan lain sebagainya. Akan ada penelaahan terlebih dahulu sebelum dijatuhkan hu­kumannya.

Kalau pelakunya masih anak-anak bagaimana?

Adanya undang-undang ini bukan berarti bukan berarti pemberian hukuman dapat di­generalisir untuk seluruh pelaku kejahatan seksual. Pemberatan hukuman melalui kebiri ini hanya berlaku bagi pelaku yang telah dewasa. Sementara bagi yang masih di bawah umur, pem­berian hukuman dapat dilakukan dengan pendekatan restorative justice. ***

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya