DUA jam lebih saya terpaku menonton debat kedua antara calon presiden Hillary Clinton dan Donald Trump, 10 Oktober 2016. Saya pun teringat Pilkada DKI saat ini.
Namun saya tak sempat menonton live. Rekaman debat mereka di Youtube yang saya nikmati.
Serasa saya menonton pertunjukan teater. Ada dinamika. Ada passion. Ada plot. Kadang saya terbawa ikut marah. Kadang tertawa. Namun di akhir acara, saya belajar banyak.
Kadang mereka berdua bicara rasional soal public policy yang akan mereka lakukan. Mereka menyebut angka dan meyakinkan betapa program mereka nanti mampu membawa Amerika Great Again (Trump). Atau betapa program itu sesuai dengan janji Amerika untuk semua (Hillary)
Kadang mereka saling menyerang karakter masing masing lewat peristiwa masa silam.
Tak ketinggalan politik identitas, yang di Indonesa seolah masih ditabukan, di sini dibicarakan terbuka. Dengan santai saja.
Diangkat bagaimana buruknya Trump memperlakukan wanita. Bahkan sebelum debat, TV amerika menyiarkan video Trump yang menyatakan kata kata kepada wanita secara tak pantas, menghina.
Dibalas pula oleh Trump menunjukkan Bill Clinton, suami Hillary, lebih buruk lagi soal wanita. Ia hanya bicara, hanya kata, tapi Bill Clinton itu aksi, bukan kata.
Kata Trump, Presiden Clinton lebih buruk soal wanita pada prilaku kongkretnya. Bahkan itu hampir membuat Bill Clinton dipecat sbg presiden.
Trump menyebut nama nama wanita yang bermasalah dengan Bill Clinton dalam hubungan perselingkuhan. Namun Clinton tak memperlakukan mereka dengan semestinya.
Hilary menyerang Trump soal Muslim, Latino, hispanic. Bagaimana etnik dan penganut agama ini di bawah Trump nanti terancam menjadi warga kelas dua.
Berbalik, Trump menyerang Hillary soal pengungsi Suriah yang membahayakan Amerika. Tak diseleksinya pengungsi ini bisa menambah ketidak amanan Amerika, kriminal, drugs, dan sebagainya.
Di satu session, mereka keras sekali saling mengecam. Kata Hillary, Trump tidak fit menjadi presiden Amerika. Ia tak memenuhi kualifikasi itu.
Di sisi lain, Trump menyatakan HIllary tak pantas menjadi presiden Amerika. Ia menghilangkan ribuan email secara tidak sah. Jika ia jadi presiden, Hillary bisa dipenjara.
Namun toh di akhir acara, mereka saling memuji. Penonton tepuk tangan. Trump dan Hillary bersalaman dan tertawa bersama.
Saya membayangkan, bisakah Pilkada DKI seperti itu? Membicarakan segala hal secara terbuka, namun tetap dalam suasana kompetisi yang sehat, yang memang dibolehkan oleh demokrasi modern.
Yang belum kita lihat di Pilkada DKI, ketiga kandidat belum berdebat soal program. Kita belum bisa menilai di mana kekuatan dan kelemahan program masing masing.
Dua calon yang ada, Anies dan Agus memang mendadak menjadi calon. Mereka belum menyiapkan program komprehensif yang akan ditawarkan.
Soal politik identitas, soal agama, juga kurang dibicarakan secara terbuka dan dingin.
Agak aneh sudah 18 tahun reformasi, masalah agama masih dianggap seolah porno, takut dibicarakan terbuka, dan seolah ingin disembunyikan di bawah permadani.
Padahal membicarakan politik identitas hal yang lazim dan biasa saja dan dibolehkan dalam aturan demokrasi modern.
Justru karena mitos SARA dan lain-lain, percakapan agama berlangsung rada-rada sembunyi, di bawah permukaan. Ini justru lebih menyusahkan untuk memverifikasi informasi. Justru cara ini lebih membuat agama dibicarakan dengan emosi berlebih.
Masing-masing calon juga belum masuk isu karakter masing- masing.
Mungkinkah Anies, misalnya menyatakan dengan santai, seperti Hillary ke Trump, bahwa Ahok tidak punya kualifikasi memimpin Jakarta yang beragam karena karakternya yang kurang menghormati agama.
Misalnya Anies berkata, jika Ahok kembali terpilih, akan lebih susah mengendalikan Jakarta untuk lebih stabil dan harmoni.
Atau Ahok menyatakan Anies kurang bisa dipercaya. Di Pilpres ia menyatakan ada mafia di balik kelompok Prabowo. Kini ia maju sebagai cagub di era Prabowo. Ia gagal menjadi menteri karena itu diganti di tengah jalan. Mengapa ia berpikir akan berhasil menjadi gubernur?
Hal yang sama dengan Agus. Ia dikritik soal pengalamannya untuk memimpin kota sebesar Jakarta, misalnya.
Bisakah ketiga kandidat saling mengkritik seperti di atas, namun dalam suasana santai saja?
Namun tetap di akhir Pilkada, tiga tokoh ini saling menghormati dan memuji.
Publik pun semakin melihat dan terinformasi mengenai kandidat, tak hanya program, karakter dan juga sikapnya terhadap politik identitas.
Kita sebagai warga negara, bisakah menyemarakkan pilkada juga dengan lebih santai?
Tak apa semua tim sukses mengangkat semua isu untuk menang dan kalah. Isu agama, etnik atau yang disebut politik identitas juga hal yang lazim dimobilisasi untuk meraih kemenangan.
Demokrasi membolehkan itu, sejauh tidak masuk ke dalam wilayah kriminal. Jika kita berkomitmen dengan demokrasi, mengapa kita melarang hal yang dibolehkan oleh demokrasi?
Namun di akhir Pilkada, bisakah kita menjadi lebih matang sebagai warga negara? Dan memahami, pilkada adalah sarana yang lebih mematangkan demokrasi kita, mematangkan ruang publik kita.
[***]