PENTAS politik DKI Jakarta diramaikan (dipanaskan) dengan soal ayat 51 al-Qur'an Surat al-Maidah. Ada istilah Auliya' (para Wali atau pemimpin) di ayat tersebut.
Gubernur DKI dinilai telah melakukan pelecehan (al-Huzuw atau al-Laib dalam terminologi Qur'an) terhadap ayat ini. Kejengkelan umat Islam tak terbendung bahkan yang tidak berasal dari DKI sekalipun. Sentimen agama (religious sentiment) menjadi bagian penting dari kontestasi politik lokal. Bersyukur, tidak ada anarkisme. Jalur hukum dilakukan misalnya oleh Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah belum lama ini melaporkan soal pelecehan agama ini.
Religious sentiment atau religious elements dalam kontestasi politik di Indonesia ini bukan hal yang baru. Sudah lama terjadi dan bahkan dalam sejarahnya Islam, pra kemerdekaan, menjadi bagian penting dari nasionalisme Indonesia yang kemudian menghasilkan kemerdekaan, terbentuknya negara RI dan falsafah bangsa Pancasila. Perdebatan tak terhindarkan antara pendukung Islam Konstitusional dengan pendukung Netral Agama.
Pasca kemerdekaan, gerakan ideologi politik Islam nampak masih kental mewarnai arus atau stream politik Indonesia meskipun menimbulkan skisme di kalangan Islam politik dan tidak memenangkan kontestasi. Antara lain ada dua partai Islam besar Masyumi dan NU yang syarat dengan simbol-simbol Islam dan saling berkontestasi tapi tak pernah menang.
Lalu, dengan dalih pembangunan, Orde Baru melakukan depolitisasi Islam atau deideologisasi politik supaya Islam, khususnya, tidak akan menjadi ancaman secara politik dan tidak menjadi faktor disintegrasi. Inilah sekularisasi politik yang diciptakan Orde Baru meskipun pada prakteknya tidak jarang juga kekuatan partai masih menggunakan simbol agama. Agama masih menjadi komoditas politik. Hal ini nampak secara kasat mata, misalnya, saat kampanye jelang Pemilu.
Perang ayat yang melibatkan banyak tokoh partai saat kampanye, susah dihindari. Misalnya penggunaan ayat larangan Allah kepada Nabi Adam agar tidak mendekati Pohon Khuldi dimanfaatkan untuk kampanye agar masyarakat tidak memilih Golkar yang bergambar Pohon Beringin. Bahkan, secara ekstrim spirit untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan dalil atau perspektif teologis terhadap kekuatan Orba yang diyakini sekular cukup kuat.
Tak sedikit juga dari kalangan ini yang kemudian memilih jalur
hardline dan radikal dengan tetap menggunakan atau mengeksploitasi agama atau simbol-simbol agama menegaskan bahwa pemerintah Orba itu Dhalim atau Kafir yang tidak boleh ditaati.
Pada tingkat inilah kemudian berbagai kaosa kata atau vokabulari politik yang berbau Islam (sound-Islamic political vocabularies) memperoleh wadahnya kembali dan dipergunakan. Vokabulari yang sebagian juga digunakan oleh kelompok Islam Radikal antara lain ialah
Darul Islam dan
Darul Harb atau
Darul Kufri.
Dua Istilah ini dengan sangat tegas menggambarkan atau memisahkan dua entitas Islam (politik Islam) dan Kafir (politik Kafir); yang pertama menegaskan keharusan memperjuangkan tegaknya sebuah sistim politik Islam yang langsung digali dari al-Qur'an dan yang kedua adalah sistem politik kufur karena tidak ada landasan al-Qur'an dan bahkan mengambil/mengikuti sistim Barat seperti demokrasi misalnya yang jelas-jelas Kufur. Pola inilah yang misalnya dianut oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Prinsip atau cita-cita yang sama sebetulnya juga diperjuangkan oleh gerakan Darul Islam Kartosuwirjo jauh ke belakang. Berbagai vokabulari politik yang berasal dari Bahasa Arab atau yang diambil secara harfiyah dari al-Qur'an digunakan oleh DI/NII ini.
Selanjutnya, di era reformasi hingga saat ini, era di mana ketidakadilan global telah memicu radikalisme dan terorisme di banyak tempat dengan bungkus agama, memperkaya
sound-Islamic political vocabularies. Muncul dan berkembanglah kausa kata seperti
Jihad, Fai, Isti'dad, Khilafah/Khalifah, Kafir dan lain-lain. Bahkan istilah yang sangat kental Fiqih Ibadah dan Teologis seperti
Allahu Akbar dan
Laa ilaaha illallah pun berubah menjadi sangat ideologis dan politik.
Jihad adalah perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah) yaitu perang atau memerangi musuh-musuh Allah, Islam dan Umat Islam karena tidak mau menegakkan hukum-hukum Allah dan negara Islam. Jihad di sini bermakna
Qital yaitu perang atau memerangi membunuh dan menghancurkan musuh. Darah orang kafir adalah
Halal.
Fai yaitu menghimpun atau merampas harta orang lain dengan cara apapun untuk membiayai Jihad. Mengambil atau merampas harta orang yang dinilai Kafir adalah Halal.
Isti'dad yaitu persiapan atau latihan-latihan perang yang harus dilakukan sebelum berjihad melawan atau memerangi Kafirun. Kelompok ini juga menggunakan istilah Kafir,
Darul Kufur atau
Darul Harbi sebagaimana yang juga digunakan oleh generasi sebelumnya.
Jadi, secara geneologis, kausa kata sosial politik dan jalan pikiran dan gerakan seperti apa yang harus dilakukan oleh kelompok-kelompok
Salafy Jihady itu terhubungkan dengan apa yang terjadi di era klasik Islam di Arab sana yang menimbulkan berbagai pertentangan. Ini memang cara pandang kuno dan berorientasi sangat ke belakang.
Bagaimana dengan
Auliya yang disebut-sebut antara lain di ayat 51 al-Maidah yang diramaikan banyak kalangan? Ini juga vokabulari yang sebetulnya sudah diperdebatkan lama terutama di kalangan penafsir Qur'an.
Akhir-akhir ini, Tafsir Ibnu Katsir dibuka kembali.
Auliya itu bahasa Arab bentuknya plural/jamak. Asalnya
Waly. Artinya antara lain ialah pelindung, teman, pemimpin atau tokoh yang kuat beragama, Solih dan mempunyai keistimewaan tapi bukan Nabi (seperti wali songo misalnya). Dari kata
Wali, muncul kata
Wilayah atau
Walayah yang artinya daerah, kekuasaan dan pertolongan. Kata
Wilayah sudah menjadi bahasa kita yang artinya juga sama yaitu daerah, kekuasaan.
Kalau dalam Ilmu politik Islam, dari kata
Wali ini muncul kata lain misalnya
Tawliyah yang artinya pelimpahan wewenang/kekuasaan atau otoritas dari seorang atasan ke bawahannya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tertentu. Ada juga istilah
Ulil Amri/Waliyul Amri yaitu orang-orang yang karena kapasitasnya memiliki otoritas politik untuk mengatur berbagai urusan dan memerintah.
Di kalangan Syiah Itsna Asyara/Syiah Dua Belas di Iran, dikenal juga istilah
Wilayat al-Faqih. Ini adalah judul buku yang disusun oleh Imam Khumainy sekaligus konsep politik dalam tradisi Syiah Dua Belas yang meyakini akan hadirnya pemimpin yang adil (Ratu Adil) yang mereka sebut sebagai Imam Muntadhor (Hidden Imam). Arti harfiyahnya kira kira skup atau batas otoritas agama dan politik seorang Faqih.
Ayat 51 al Almaidah itu, ada kaitannya dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya hingga ayat 57. Ada sejumlah prinsip hidup yang diingatkan Allah. Antara lain yang menegaskan soal pemimpin yang melecehkan agama. Jangan taati pemimpin yang melecehkan, yang menghina dan merendahkan agama. Pelecehan itu caranya bermacam-macam, ada yang dengan kata kata (verbal) ada yang dengan tindakan atau sikap. Kebohongan publik,
abuse of power dan ketidakadilan hemat penulis termasuk bentuk pelecehan riil terhadap agama.
Pemahaman lazim yang berkembang bahwa maksud ayat 51 al Maidah antara lain (1) orang Islam jangan bersekutu atau bekerja sama dengan orang yahudi dan nasrani yang ternyata justru menghancurkan atau merusak orang Islam dan umat Islam. Ayat 51 ini turun, karena ada orang Islam yang bekerjasama saat perang Uhud sehingga banyak kerugian dan korban yg dialami umat Islam jaman Nabi Muhammad. Situs perang Uhud dan kuburan korban para sahabat masih bisa kita saksikan di Mekah. (2) orang Islam jangan memilih atau mengangkat pemimpin orang yahudi dan Nasrani.
Jadi jelas, konotasi pemahaman tersebut memang politik. Artinya, masyarakat Islam memilih atau menentukan pemimpin mereka bisa berdasarkan kepada argumentasi atau alasan dan motif sosial, politik, finansial dan juga tentu agama. Kata
Auliya juga vokabulari sosial politik yang digunakan masyarakat dan nampak cukup berpengaruh dalam menentukan sikap politik mereka.
Inilah yang dalam literatur disebut sebagai politik aliran yang menghasilkan kausa kata politik yang khas bernuansa Islam. [***]
Penulis adalah dosen tetap UIN Jakarta, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI Pusat, Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah dan Ketua Dewan Pakar Kornas Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM).