Berita

Ahok/Net

Publika

Sekularisme, Islam Dan Paradoks Ahok

SABTU, 08 OKTOBER 2016 | 10:50 WIB

BERULANGKALI saya coba untuk tidak masuk dalam wacana SARA dalam hal pilkada semodel DKI Jakarta. Resistensinya tinggi, karena secara mendasar segenap kita telah memiliki komitmen atas penerapan demokrasi pancasila yang pada gelombang konsekwensi berikutnya terdapat Bhineka Tunggal Ika sebagai doktrin berbangsa.

Tapi apalah daya, polemik SARA tak dapat dihindari bahkan dinamikanya menjadi relative kompleks sebagai bagian yang saya kira sengaja dikelola bukan sekedar untuk menjatuhkan pada satu posisi, tapi justru mungkin saja dapat memperkuat elektabilitas, bahkan bagi semua kandidat, diposisi lainnya.

Dengan segala keterbatasan dalam hal menulis, saya ingin sekali mengurai fenomena pertarungan Pilkada DKI dalam perspektif agama-politik. Prihal ini faktanya telah menjadi tema central, eskalasinya bahkan menandingi pertarungan visi dan misi yang bagi sebagian kalangan sesungguhnya lebih layak untuk dijadikan prioritas isu sebagai sumber referensi dalam memilih calon pemimpin Jakarta.


Tarik Menarik Soal SARA

Beberapa waktu lalu, diberbagai ruas jalan di Jakarta banyak tersebar spanduk bertuliskan; Pilkada Ajang Pertarungan Visi Misi, Bukan SARA. Semangat seruan di spanduk  tersebut sebenarnya semacam kopi darat peperangan gagasan sama yang selama ini berseliweran diberbagai media sosial kita. Kelompok ini ingin kita semua saling menghargai, jangan memilih berdasarkan preferensi keagamaan, tapi pilihlah berdasarkan visi, misi dan program. Dalam ruang pilitik, pola ini tentu tidak bisa diterima dengan datar dan seakan sebatas prinsip-prinsip normatif. Gerakan ini tentu juga boleh diberikan tesis kritis bahwa beberapa kalangan yang meneguhkan prinsip tersebut kemungkinan besar telah berafiliasi dengan salah satu kandidat.

Di seberang lainnya, kelompok-kelompok Islam rajin mendengungkan pasal-pasal keagamaan yang merujuk pada ayat suci Al-Quran prihal memilih pemimpin. Bagi kalangan muslim, hal ini memang harus dilakukan, mengingat seruan yang sangat familiar bahkan sangat sering kita dengar "sampaikanlah walaupun satu ayat".

Dalam soal ini sebenarnya berbagai pihak harus menghormati umat muslim sebagai konsekwensi komitmen saling menghargai. Karena dalam Islam pada hakekatnya segala sesuatu diatur dalam ketentuan-ketentuan yang jelas. Dalam konteks  politik, Islam juga tidak pernah menerima sekularisme sebagai ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Itulah sebabnya meskipun dipaksa-paksa, tentu saja kalangan Islam yang meyakini prinsip ini tidak akan menghentikan gerakannya.

Paradoks Ahok

Seperti yang kita ketahui, Ahok adalah satu diantara tiga kandidat yang menolak isu SARA. Kalkulasinya sederhana saja, jika pemilih muslim solid, maka mustahil Ahok dapat bertahan menjadi gubernur DKI Jakarta. Tapi anehnya, beberapa waktu lalu video Ahok di Pulau Seribu menjadi viral. Bahkan mendapatkan reaksi dari berbagai kalangan organisas Islam di penjuru Indonesia.

Pada video tersebut Ahok justru menggunakan isu SARA untuk menuai keuntungan politik. Ahok masuk terlalu dalam memberikan perspektifnya pada ayat-ayat Al-Quran untuk sekedar mereduksi "serangan" yang menghampirinya selama ini. Ahok tentu sadar dirinya secara sengaja mengangkat tema yang sangat sensitif tersebut guna membalik keadaan dan mencoba mencari simpati warga. Memposisikan diri sebagai yang tertindas merupakan strategi umum dalam dunia politik kita saat ini.

Jika dicermati lebih dalam, di luar soal SARA, sebenarnya ada kesalahan fatal yang dilakukan Ahok. Ahok memberikan pernyataan politik terkait pilkada saat melakukan perjalanan dinas kegubernuran. Tentu ini akan menjadi persoalan lain bagi Ahok, di tengah gugatannya ke MK yang saat ini masih berproses di Mahkama Konstitusi tentang penolakan cuti saat pilkada. Persoalan ini akan menambah tumpukan bukti inkonsistensi Ahok dalam rangkaian panjang perjalanan politiknya selama ini.

Demikianlah, SARA dalam bingkai politik tentu tidak dapat diterjemakan secara tekstual. Penghargaan terhadap keberagaman pada angle tertentu dapat dimaknai sebagai rasa hormat dari kalangan penganut sekularisme bagi penganut pemahaman agama (Islam) untuk menjalankan ibadah syiar pada semua dimensi kehidupan termasuk politik. [***]

Goben Gusmiyadi
Aktivis Indonesia Bergerak

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya