Pakar hukum, Margarito Kamis, tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbaik hati kepada bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.
Aguan dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan sejak 1 April 2016 lalu terkait kasus suap pembahasan Raperda yang berkaitan dengan reklamasi Teluk Jakarta. Namun, saat ini KPK memutuskan tidak memperpanjang masa cegah Aguan yang akan berakhir besok.
"Saya senang sajalah kalau KPK baik kepada Aguan. Ya, bagus juga sekali-sekali KPK mesti baik hati. Apalagi beliau (Aguan) beberapa waktu lalu diundang ke Istana. Mungkin dia penting untuk presiden. KPK mesti perlakukan dia baik," sindir Margarito Kamis, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (30/9).
"Dia orang penting bagi presiden, masak KPK mau ngaco? Apalagi kalau KPK tak temukan data apa-apa," tambah Margarito.
Margarito mengatakan, bisa jadi memang KPK tidak memiliki data apapun sebagai dasar memperpanjang status cegah bagi Aguan. Namun, dia sayangkan mengapa KPK di awal kasus ini bergulir seolah sangat percaya diri bahwa perkara ini grand corruption yang melibatkan orang-orang besar.
"Saya kira karena mereka tidak punya-apa jadi (Aguan) mesti dilepas. Di awal saja KPK sudah heboh, ternyata sekarang terbukti (kasusnya) kerupuk," ujarnya.
Meski begitu Margarito tetap yakin kasus reklamasi Teluk Jakarta adalah perkara grand corruption karena melibatkan nilai uang dalam jumlah sangat besar.
"Yang grand itu jumlah korupsinya. Bayangkan sebuah perusahaan swasta sudah kasih bantuan ke Pemprov DKI sebesar triliunan rupiah tanpa dasar hukum," jelasnya.
Diberitakan beberapa waktu lalu, terdakwa dalam perkara ini, mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, mengakui hal mengejutkan ketika dihadirkan Jaksa Penuntut Umum KPK untuk menjadi saksi terdakwa bekas Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Ariesman mengaku telah mengelontorkan dana sebesar Rp 1,6 triliun kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Ariesman, uang tersebut sebagai bagian tambahan kontribusi dari PT Muara Wisesa Samudera dan PT Jaladri Kartika Paksi terkait proyek reklamasi Teluk Jakarta. Kedua perusahaan itu adalah anak perusahaan PT Agung Podomoro Land yang dipimpin Ariesman.
Margarito membandingkan perlakuan KPK dalam kasus reklamasi dengan perlakuan KPK dalam perkara dugaan korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB) yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
"Dalam kasus reklamasi KPK melempem, tapi jadi jagoan dalam kasus Nur Alam, dalam hal penerbitan surat izin usaha. Apakah karena KPK tahu di sana ada orang kecil dan di sini ada orang besar?" ungkapnya.
[ald]