Buntut ancaman kriminalisasi delapan mahasiswa STMIK Bumi Gora, Mataram mendapat reaksi keras. Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) menilai langkah otoriter rektorat sebagai ancaman serius bagi demokrasi, terutama di dunia pendidikan.
Selain menuntut pembatalan tuntutan, SMI mendesak pencabutan undang-undang yang dinilai makin mempersempit demokrasi yaitu UU ITE dan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi yang sarat pasal-pasal kapitalistik.
"Dalam UUD 1945 sudah dijelaskan pendidikan yang digagas para founding father Republik Indonesia adalah pendidikan yang bermakna, kritis, bersemangat dan emansipatoris. Bukan mengamini gaya pendidikan yang mengarah depolitisasi institusi pendidikan bahkan berujung kriminalisasi mahasiswa," kata Ketua Umum SMI Nuy Lestari dalam pernyataan pers di Jakarta, Kamis (29/9).
Ditambahkannya, secara nasional, SMI menyerukan demokratisasi kampus dijamin pemerintah dan dipayungi Undang-undang. Menurut Nuy, wajah pendidikan Indonesia kembali ditampar kasus kriminalisasi mahasiswa dengan dalih pencemaran nama baik universitas. Andriyan Rizky Saputra, salah satu mahasiswa STMIK Bumi Gora, Mataram digugat pihak kampus dengan tuduhan melanggar UU ITE atas kritik terhadap praktik komersialisasi yang dilakukan pihak kampus. Pada 27 September 2016, surat pemanggilan yang berpijak pasal karet yaitu pasal 27 dan 28 UU 11/2008 tentang ITE, pihak kampus kembali berencana memidanakan delapan mahasiswa lainnya.
"Situasi ini jelas merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi kerakyatan," kecam Nuy.
Dijelaskannya, berbekal UU ITE dan dalih penghinaan, pihak kampus menjelma jadi institusi yang anti demokrasi dan menutup rapat ruang kekebasan beraspirasi bagi mahasiswa. Dengan ditutup rapatnya ruang demokratisasi kampus, menandakan kemunduran harkat dan martabat institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi budaya kritis dan ilmiah.
Hal ini bisa menjadi barometer implementasi demokrasi di Indonesia yang semakin mundur dan mengarah penciptaan budaya bisu. Kebudayaan bisu, menurut Freire adalah kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya ketidakberdayaan dan ketakutan umum mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga diam nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan dan mesti ditaati. Budaya bisu ini dinilai sebagai titik awal kemunduran peradaban masyarakat.
Sementara, Ketua Cabang SMI Mataram Muhammad Yassin menambahkan, kasus kriminalisasi yang dialami mahasiswa STMIK Bumi Gora semakin menegaskan bahwa dalam lingkup universitas, mahasiswa dipandang sebagai warga kelas dua, mahasiswa tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan maupun beraspirasi demi kemajuan institusi pendidikan tinggi.
"Inilah realitas umum di hampir seluruh kampus di Indonesia. Kami menuntut pencabutan kasus yang mengkriminalisasikan mahasiswa STMIK Bumi Gora Mataram, dan pemerintah beserta jajaran institusi yang menaungi pendidikan harus menjamin terciptanya demokratisasi di tingkat universitas," jelasnya.
Menurut Yassin, demokratisasi kampus bermakna penciptaan sebuah kondisi yang memungkinkan seluruh unsur di dalam universitas yakni mahasiswa, rektorat, tenaga pengajar, pegawai, dan pekerja bisa memiliki hak yang sama dalam merumuskan kebijakan dan orientasi penyelenggaran pendidikan di universitas. Tanpa partisipasi dari mahasiswa, maka tidak akan terwujud demokratisasi kampus. Dan, jika tidak ada demokratisasi dalam kehidupan kampus,tujuan Universitas dipastikan hanya untuk melayani kepentingan segelintir orang dan industri kapitalis.
"Jelas ini mencederai harkat dan martabat institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung budaya kritis, ilmiah dan demokratis," pungkasnya.
[wah]Â