Pria sepuh yang masih getol memerangi korupsi ini geleng-geleng kepala mendengar alasan yang diungkap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly terkait wacana obral remisi kepada koruptor yang dimasukkan dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dia mengatakan, kalau alaÂsan mengobral remisi kepada koruptor hanya lantaran penÂjara over capacity alias terlalu penuh, tidak masuk akal. Kata Abdullah, kalau penjara over caÂpacity, harusnya kebijakan yang diterbitkan bukan pemotongan masa tahanan, tapi hukuman mati. Kebijakan memberikan remisi kepada koruptor, menuÂrutnya, sangat blunder. Karena bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi.
"Jokowi berkoar-koar memberÂantas korupsi, tapi bawahannya itu mengambil kebijakan yang berÂtentangan dengan koar-koarnya Jokowi, nah itu sama saja denÂgan membuang garam ke laut," ujar Abdullah kepada Rakyat Merdeka. Berikut pernyataan lengkap bekas Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ini;
Sebenarnya boleh nggak sih koruptor diberi remisi?Pertama, kita harus lihat KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Itu meÂmang mengatur semua narapiÂdana memperoleh remisi. Yang jadi persoalan adalah apakah semua narapidana disamakan, antara pidana khusus dengan pidana umum. Misalnya, pencuri ayam atau pidana pembunuhan atau kriminal apa itu disamakan dengan pidana narkoba, teroris dan korupsi. Kan tiga kategori perkara pidana (narkoba, teroris dan korupsi) di Indonesia dinyaÂtakan darurat.
Jadi bagaimana dong kalau sudah begini?Sebenarnya ini kan tergantung
political will Presiden. Menteri itu kan bawahannya Presiden. Kalau misalnya Jokowi berkoar-koar memberantas korupsi, tapi bawahannya itu mengambil kebiÂjakan yang bertentangan dengan koar-koarnya Jokowi, nah itu sama saja dengan membuang garam ke laut. Atau bisa juga orang menyebut bahwa Jokowi cuma suka membuat citra, tapi sebenarnya dia tidak serius memÂberantas korupsi, dengan memÂbiarkan menterinya mengambil kebijakan seperti itu.
Selain berharap pada poÂlitical will Presiden Jokowi, adakah instrumen lain?Oleh karena itu, karena sekaÂrang KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sedang diamandemen, itu yang harus dipastikan bahwa KUHAP itu tidak memberikan remisi. Jadi dalam amandemen itu ditetapÂkan.
Artinya, remisi terhadap koÂruptor kemarin sebenarnya tidak ada aturan yang dilangÂgar?Memang dalam KUHAP itu menjelaskan setiap narapidana mendapatkan remisi. Tapi menÂteri itu kan punya rasa keadilan, bagaimana orang korupsi diberiÂkan remisi sama dengan pidana umum biasa.
Jadi menurut Anda, kebiÂjakan pemberian remisi oleh Kemenkumham salah?Menkumham ini memang banyak sekali membuat blunder. Seperti dalam kebijakan-kebiÂjakan soal partai, soal ini, dan lain-lain. Tapi Jokowi sepertinya tidak berdaya.
Maksud Anda?Ya, orang yang baik-baik di
-reshuffle, orang yang buat blunder itu tidak di-
reshuffle atau tidak diganti. Sehingga orang bertanya-tanya, siapa sih Jokowi ini sebenarnya.
Tapi Menkumham beralaÂsan, remisi terhadap koruptor diberikan karena over capacÂity di Lapas?Berarti tidak becus pemerinÂtah mengatur. Kalau
over capacÂity berarti pada periode Jokowi, kriminalitas bertambah. Korupsi bertambah. Kalau misalnya
over capacity.Solusinya?Kalau masalahnya
over caÂpacity, koruptor untuk kelas tertentu itu dijatuhkan saja hukuÂman mati. Sehingga kemudian tidak lagi terjadi
over capacity. Sehingga bisa menyelesaikan persoalan.
Agar kebijakan remisi terhÂadap koruptor tidak terulang lagi?Maka oleh karena itu, kebiÂjakan Presiden untuk memberiÂkan guide kepada menterinya supaya tidak semudah begitu memberikan remisi kepada koruptor. Padahal negara kita darurat korupsi, seperti teroris juga narkoba. ***