Berita

Foto/Net

Wawancara

WAWANCARA

Sutopo Purwo Nugroho: Tak Mungkin Menihilkan Kebakaran Hutan Di Indonesia

SELASA, 30 AGUSTUS 2016 | 09:45 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) me­nyebutkan, saat ini ada 135 titik api tersebar di Indone­sia. 85 di antaranya berada di Riau. "Semuannya berpo­tensi menyebabkan kebakaran," ujar Sutopo di kantor BNPB, Jakarta Timur.

DipaparkanSutopo, karhutla di Riau sejak Januari hingga 27 Agustus sudah mencapai sekitar 3.218 hektare. "Asapnya sudah masuk ke Singapura mulai Jum'at kemarin, dan hingga saat ini pemerintah Singapura belum melayangkan nota keberatan atas asap kebakaran hutan terse­but," kata dia.

Sementara itu, kualitas udara di wilayah Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Jambi, dan Aceh dalam kon­disinya baik hingga sedang. Namun, Kabupaten Bengkalis, Riau berada pada kategori se­dang hingga sangat tidak sehat pada hari Sabtu pukul07.00 WIB. Berikut penjelasan Sutopo selengkapnya.


Kondisi karhutla di Tanah Air saat ini sudah seperti apa?

Berdasarkan pantauan Satelit Himawari dari BMKG pada pukul 12.00 WIB hari Minggu, kualitas udara di Riau menurun, dan kembali menjadi tidak sehat. Kualitas udaranya berada di ang­ka PM2,5 dengan konsentrasi 159 psi. Tapi berdasarkan indeks pencemaran udara di wilayah rawan kebakaran hutan lainnya hingga hari ini masih baik.

Untuk jarak pandang ba­gaimana?
Jarak pandang warga juga cukup baik. Tidak ada penerbangan yang cancel akibat tertutup kabut asap, sekolah-sekolah tetap masuk aktivitas masyarakat normal. Ini lebih baik dari pada tahun lalu (2015), Agustus, September, Oktober, sebagian besar di Sumatera dan Kalimantan tertutup oleh asap.

Anda mengatakan kondisi karhutla saat ini lebih baik ketimbang tahun lalu. Apa yang membuatnya lebih baik?
Salah satu faktor penyebab menurunnya angka kebakaran hutan pada tahun ini adalah anomali cuaca. Adanya kemarau basah dan pengaruh lainnya yang menyebabkan musim kemarau tidak kering dan menyebabkan hujan atau musim hujan lebih cepat datangnya. Selain itu kes­iapan pemerintah dalam meng­hadapi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sangat baik. Semua komponen dari pemer­intah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri dan pihak lainnya bersama-sama melakukan lang­kah-langkah pencegahan dan pemadaman karhutla.

Tapi kenapa kok Indonesia tetap menjadi negara pengek­spor asap hingga kini?
Memang tidak mungkin menihilkan kebakaran hutan di Indonesia. Di level bawah ban­yak yang melakukan pemba­karan, yang dibakar sekam, dan melakukan pembakaran untuk penanaman lahan baru. Jadi kalau menihilkan kebakaran tidak mungkin. Apalagi saat ini masyarakat masih belum sadar akan dampak dan bahayanya pembakaran lahan. Pemerintah, termasuk salah satunya BNPB dalam hal ini hanya bisa memi­nimalkan jumlah titik api keba­karan hutan dan lahan.

Apa karena kurang sosialisasi di daerah?

Terus dilakukan kok. Buktinya ada penurunan 61 persen diband­ingkan dengan tahun lalu. Berdasarkan data BNPB, sejak 1 Januari hingga 29 Agustus 2015 tercatat ada 32.734 titik api (hot spot). Pada periode yang sama di 2016 tercatat hanya 12.884 titik api. Masalahnya upaya sosialisasi dampak ke­bakaran hutan dan lahan, tidak pernah ditaati oleh masyarakat. Padahal, setidaknya sudah ada 84 tersangka dari masyarakat yang sudah terbukti melakukan pembakaran lahan dan hutan. Tapi meski sosialisasi digalak­kan dan patroli disiagakan, tetap saja ada titik api.

Kalau begitu, ada kemung­kinan kebakarannya akan besar seperti sebelumnya?
Tidak. Perbandingan hotspot, pada September nanti akan ban­yak hujan. Dampaknya sampai akhir 2017. Jadi kami perkirakan kebakaran hutan tidak seperti tahun 2015. Kami kalau ada hotspot kini minimalkan. Kebakaran tidak akan meluas seperti 2015.

Berarti sebentar lagi ekspor asap ke Singapura bisa dihen­tikan?
Kalau soal penyebaran ke negara tetangga tergantung anginnya. Kami pun tidak bisa memprediksi sikon kan.

Kalau di Riaunya, perkiraan ke depan bagaimana?
Kami memprediksi bahwa kebakaran lahan dan hutan di Indonesia tahun ini akan benar-benar teratasi pada Oktober. Itu dikarenakan adanya faktor alam yakni anomali cuaca La Nina yang membuat curah hujan meningkat.

Ini kan sudah musim hujan, tidak bisa dituntaskan bulan depan?

Justru puncak potensi karhut­la di Riau dan Jambi diprediksi terjadi pada September menda­tang. ***

Populer

UPDATE

Selengkapnya