Rencana membentuk perusahaan induk (holding) dua BUMN migas yakni PT Pertamina (Persero) dan PT PGN (Persero) Tbk dikritik tergesa-gesa.
Anggota Komisi VI DPR Siti Mukaromah menilai pembentukan holding Pertamina-PGN ini berdampak besar bagi perekonomian dan hajat hidup orang banyak
"Pemerintah mestinya mengkaji secara komprehensif dan hati-hati, serta berkonsultasi dulu dengan DPR," katanya.
Masih menurut dia, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan holding Pertamina-PGN. Pertama, PGN merupakan perusahaan terbuka yang 43 persen sahamnya dimiliki publik, sementara Pertamina bukan perusahaan terbuka.
"Jadi, kalau di-
holding belum tentu mendapat tanggapan positif dari pemilik saham dan bisa jadi bumerang bagi PGN yang kini berkinerja cukup baik dan berkontribusi cukup besar bagi negara," ujarnya.
Lalu, lanjut politisi PKB tersebut, hingga saat ini, belum ada peta jalan (
roadmap) tata kelola migas, sehingga tidak terlihat apakah holding Pertamina-PGN itu diperlukan atau tidak.
Kemudian, dari sisi payung hukum, menurut Siti, saat ini, RUU BUMN sebagai revisi UU 19/2003 masih dalam pembahasan di Komisi VI DPR.
"Artinya, aturan terkait perusahaan induk BUMN belum ada payung hukumnya," katanya.
Kalau mengacu pada UU 19/2003, tambahnya, maka pembentukan
holding akan tersandung beberapa persoalan seperti status PGN yang akan berubah menjadi perusahaan non-BUMN.
"Dengan perubahan status itu, maka semestinya tidak begitu saja dibentuk
holding. Apalagi PGN yang sahamnya sudah terbuka," ujarnya.
Siti juga mengatakan, pembentukan
holding Pertamina-PGN harus melalui konsultasi dengan DPR, karena pendanaannya lewat APBN.
"Sampai kini, rencana
holding PGN-Pertamina ini belum dikonsultasikan ke DPR," bebernya.
[wid]