SEJATINYA kepemimpinan itu adalah seni. Seni menggerakkan dan mengorganisir segala sumber daya untuk mencapai tujuan.
Tapi tidak jarang kita merasakan kegagalan dalam menggerakkan dan mengorganisir sumber daya yang ada, dan kita tidak menikmati seni yang hadir dalam aktifitas kepemimpinan.
Menurut hemat saya, kegagalan menjadi pemimpin tidak lepas dari budaya gagal yang kita miliki. Menurut Andreas Harefa, dalam buku menjadi manusia pembelajar, kegagalan menjadi pemimpin itu karena kita tidak mampu menjadi pembelajar dan guru yang baik.
Segala aktifitas, khususnya kegiatan organisasi, harus kita pahami sebagai proses belajar yang terus menerus. Sebagai manusia pembelajar, kita memberikan ruang dan potensi yang sama bagi subjek atau pelaku pembelajar. Tidak ada perbedaan perlakuan kepada siapapun hanya karena latar belakang pendidikan, tingkat ekonomi, status sosial, apalagi suku dan ras. Bagi manusia pembelajar, perbedaan latarbelakang bukan berarti tidak dapat melejitkan potensi untuk mencapai puncak dan berhasil (memilih dan dipilih).
Bagi pembelajar, tidak ada kata gagal atau kalah. Pembelajar hanya tahu terus berproses memperbaiki diri, menjadi teladan dan guru. Hal ini sebagaimana disampaikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh), Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerjasama) dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan dorongan).
Jika dalam berorganisasi sudah mampu menjadi pembelajar dan guru yang baik maka dengan sendirinya bisa menjadi pemimpin yang baik. Budaya pemimpin gagal akan terjadi jika menganggap diri paling hebat, paling kuat dan paling bisa segalanya sehingga ketika mendapati diri tidak sempurna makan dilabeli gagal.
Nasyiatul Aisyiyah (NA) mengajarkan kita menjadi pemimpin dengan filosofi padi; semakin berisi semakin menunduk. Karena itu, jangan hakimi prosesnya karena seiring dengan perjalanan waktu dan potensi yang dimiliki seorang "padi" (kader Nasyiah) akan memperlihatkan kematangan dan kualitasnya. Terdidik tiap hari, bekerja digemari dan kemuliaan Islam dicari adalah filosofi kepemimpin Nasyiah.
Jika padi sebagai simbol gerakan Nasyiah dapat digejawantahkan dalam kepemimpinan baik vertikal maupun horizontal maka pemimpin gagal karena budaya gagal, (gagal jadi pembelajar dan tak mampu diteladani) tidak akan kita temui dalam organisasi yang kita cintai ini. Yang akan kita temui adalah para kader-kader pembelajar, yang terus berproses menggali potensi yang dimiliki, melakukan aktifitas pemberdayaan, advokasi, dedikasi dan menjadi guru sejati yang mampu diteladani.
Menjadi pemimpin sederhana yang bersimbul padi baik di lingkup domestik maupun publik. [***]
Ulfah Mawardi
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Periode 2012-2016