Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Seharusnya Semua Sekolah Inklusi

SABTU, 27 AGUSTUS 2016 | 02:05 WIB

ANAK-anak berkebutuhan khusus (ABK) sering kali mendapat perlakuan yang berbeda dalam hal layanan pendidikan, karena mereka dipandang memiliki hambatan dalam beberapa dimensi kehidupan, sehingga dalam layanan pendidikannya harus terpisah dari anak-anak yang ‘normal’ supaya proses pembelajaran tidak terganggu.

Kategori anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya menjadi pemahaman masyarakat. ABK lebih sering dikaitkan dengan difabel, padahal tidak hanya demikian. Keberadaan anak dengan latar belakang ekonomi miskin, anak gelandangan dan pengemis, bahkan anak pengidap HIV/AIDS juga termasuk dalam kategori ABK. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus.

Berdasarkan data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Tahun 2015 bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 1,6 juta orang, dan baru 164 ribu ABK yang mendapat layanan pendidikan. Artinya, pemerintah baru mengakomodir sekitar 10-11 persen saja. Kenyataan ini menandakan bahwa akses ABK dalam dunia pendidikan masih terbatas.


Selama ini anak-anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan berdasarkan kelainannya. Secara tidak disadari akan membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak berkebutuhan khusus, hal ini ternyata telah menghambat proses saling mengenal antara anak normal dan anak berkebutuhan khusus. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat anak berkebutuhan khusus menjadi kelompok yang tersingkirkan. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan anak berkebutuhan khusus. Sementara anak berkebutuhan khusus sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat disekitarnya.

Bersamaan dengan berkembangnya tuntutan kelompok anak berkebutuhan khusus dalam menyuarakan hak-haknya, kemudian muncul konsep pendidikan Inklusi. Istilah pendidikan Inklusi merupakan antitesis dari pendidikan luar biasa yang segregatif dan eksklusif. Istilah ini cukup membawa angin segar dalam dunia pendidikan. Salah satu kesepakatan internasional yang mendorong sistem pendidikan Inklusi adalah Conventional on the Right of Person with Disabiliteis and optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007.

Pendidikan Inklusi secara resmi yang dipahami oleh pemerintah dan banyak dirujuk oleh masyarakat, didefinisikan sebagai berikut: "Pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan Inklusi menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun system pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB. 2004)."

Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa menyebutkan, bahwa: "Pendidikan Inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkung pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya."

Definisi tersebut menunjukkan bahwa sekalipun secara konseptual pendidikan inklusi mengikutkan semua anak berkebutuhan khusus, tetapi di negara kita lebih banyak dipahami atau ditekankan sebagai upaya mengikutkan anak berkelainan dalam setting sekolah regular.

Pendidikan Bagi Semua-Bersama

Pemberian label sekolah inklusi membawa banyak dilema, justru tidak semua sekolah menerima murid difabel. Sekolah seharusnya tidak diberi label ‘Sekolah Inklusi’, sehingga semua anak bisa sekolah di mana saja, sesuai dengan pilihannya, dan semua sekolah bisa melayani setiap anak, tanpa memandang latar belakang dan perbedaan anak.

Pendidikan inklusi identik dengan pendidikan yang menyertakan semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa membeda-bedakan anak yang berasal dari latar suku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis kelamin, agama, dan perbedaan kondisi fisik atau mental.

Dalam pengembangan pendidikan inklusi yang diimplementasikan dalam lembaga sekolah inklusi perlu adanya kesiapan yang matang. Inklusi tidak hanya terbatas pada aspek peserta didik saja, namun dalam aspek yang lebih luas, mencakup aspek hardware, software, dan brainware.

Pertama, adalah aspek hardware aspek ini berkaitan dengan lokasi, gedung, sarana prasarana, dan fasilitas pendukung lain. Aspek ini haruslah mengacu pada inklusi tadi, bagaimana ketercakupan dalam satu gedung mampu memfasilitasi semua kebutuhan peserta didik yang heterogen. Oleh karena itulah perlu adanya aksesibilitas yang diterapkan pada sekolah inklusi. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi anak berkebutuhan khusus guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, serta menciptakan lingkungan yang lebih menunjang mereka untuk dapat hidup bermasyarakat. Penyediaan aksesibilitas ini dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Kedua, adalah aspek software, yaitu meliputi kurikulum, silabus, dan perangkat penunjang yang lain. Kurikulum yang digunakan pada sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (reguler) yang disesuaikan atau dimodifikasi sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa. Modifikasi ini dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, materi atau isi, proses belajar mengajar atau pembelajaran, sarana prasarana, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas.

Ketiga, adalah aspek brainware, yaitu meliputi tenaga kependidikan, peserta didik, staf ahli, psikolog, dan staf pendukung lainnya. Tenaga kependidikan atau guru di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Dalam perannya guru tidak berdiri sendiri, namun kerjasama dari psikolog, dokter anak, bahkan orang tua siswa pun turut andil dalam implementasi menuju sekolah iklusi yang lebih baik.

Inklusi tidak lagi menjadi sebuah label ataupun sistem. Inklusi hidup sebagai roh-nya pendidikan, dan kehidupan. Tidak perlu lagi ada label sekolah inklusi, juga tidak lagi ada peluang bagi sekolah memilih calon anak didiknya.

Menanti Keseriusan Pemprov Sumut

Provinsi Sumatera Utara telah mendeklarasikan menjadi Provinsi Pendidikan Inklusi pada 17 Desember 2015. Sebanyak 633 sekolah yang tersebar di 14 kabupaten/kota menyatakan diri siap untuk menyelenggarakan pendidikan Inklusi. Guna mensukseskan pendidikan Inklusi di Provinsi Sumatera Utara, setidaknya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu melakukan dua hal berikut ini:

Pertama, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara perlu membuat Perda dan atau Pergub tentang pendidikan Inklusi di Sumatera Utara, termasuk dalam hal ini mempersiapkan sarana dan prasarana sekolah, Pemerintah Sumatera Utara tidak boleh membiarkan begitu saja proses kesadaran di daerah kabupaten/kota menjadi parsial. Namun, perlu dibangun sistem, dengan kesadaran yang ada yang dapat menggiring kesadaran kolektif dari para kepala daerah kabupaten/kota hingga kepala sekolah. Dengan demikian, political will dapat menyebar dan semakin banyak sekolah yang siap memproklamirkan diri menjadi sekolah inklusi.

Kedua,  kebijakan yang tertuang dalam aturan, perlu diimbangi dengan kebijakan anggaran oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini bisa dipahami, karena setiap aturan pasti menghasilkan sebuah program, yang  realisasinya tertuang dalam kebijakan anggaran. Menjadi sebuah ironi tersendiri, apabila aturan kebijakan telah disahkan, tetapi kebijakan anggaran tidak mengikutinya.

Dukungan pemerintah pusat hingga provinsi pun turut menentukan komitmen dari para penyelenggara pendidikan inklusi. Akhir kata, melalui pembudayaan pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus diharapkan tidak lagi menemukan hambatan dalam menagih haknya. Karena memperoleh pendidikan merupakan hak seluruh warga Negara. Education for all. [***]

Nahot Tua P Sihaloho
Penulis adalah Guru Swasta di Medan. Email: nahotsihaloho@gmail.com

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya