Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah merampungkan pemeriksaan awal (assessment) medis, terhadap korban pelanggaran HAMdi di Desa Jambu Keupok, Aceh Selatan. Peristiwa Jambu Keupok merupaÂkan tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 17 Mei 2003 setelah Daerah Operasi Militer (DOM), sebelum Darurat Militer di Aceh.
Peristiwa ini merupakan bagian dari tindakan aparat TNI yang mencari anggota GAM di Jambu Keupok, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan. Operasi itu menyebabkan 16 orang tewas karena tertembak dan terbakar. Ada juga terjadi penyiksaan terhadap 21 orang. Komnas HAM pun menurunkan Tim AD HOC untuk menyelidiki kasus tersebut. Hasilnya, terdapat bukti permulaan yang bisa menÂjadi dasar penetapan peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM kemudian meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk mengumpulkan informasi lewat pemeriksaan awal (assessment) medis para korban. Berikut penuturan Hasto Atmojo Suroyo, Ketua Tim Assesment Medis LPSK terkait pemeriksaan awal tersebut keÂpada Rakyat Merdeka.
Kapan LPSK mulai melakuÂkan asssessment medis?
Pemeriksaan dimulai hari Kamis, dan berakhir jum'at. Jadi hanya dua hari, yaitu 18-19 Agustus 2016.
Pemeriksaan dimulai hari Kamis, dan berakhir jum'at. Jadi hanya dua hari, yaitu 18-19 Agustus 2016.
Berapa banyak warga yang diperiksa?Jadinya ada 15 orang. Tadinya Komnas HAM merekomenÂdasikan untuk memeriksa 17 orang. Tapi setelah kami cek di
Semuanya korban tindak kekerasaan saat itu?Tidak juga. Sebagian ada yang merupakan keluarga korban dari kejadiaan tersebut. Mereka mengalami trauma berat akibat kejadian tersebut.
Memang saat itu kejadianÂnya parah sekali sehingga menimbulkan trauma berat?Berdasarkan laporan dari Komnas HAM, saat itu tentara menyerbu ke rumah-rumah yang berada di desa tersebut. warga disuruh keluar rumah semua. Warga lalu dikumpulÂkan di satu tempat. Kemudian para tentara itu mengintrogasi mereka. Setelah diintrogasi, ada empat orang yang palÂing dicurigai, tetapi tidak mau mengaku. Keempat orang ini keÂmudian dieksekusi dengan cara ditembak. Sementara itu ada 12 warga lain yang dipaksa masuk ke dalam satu rumah. Untuk kemudian dibakar hidup-hidup. Sebagian orang yang kami perikÂsa merupakan keluarga 16 orang korban ini. Sebagian lagi korban luka-luka dari kejadian tersebut. rinciannya saya tidak ingat.
Lalu bagaimana hasil assessÂment semua korbannya?Baik yang merupakan keÂluarga atau pun korban tindak kekerasan langsung semuannya trauma. Kebanyakan dari merÂeka terlihat merasa berat, ketika harus menceritakan bagaimana kejadiaan itu lagi. Bahkan ada seorang ibu yang gemetar setiap mendengar kata tentara. Tapi saya tidak bisa menyebutkan indentitasnya sama sekali.
Hasil assessment-nya hanya trauma?Tidak juga. Selain psikis, ada juga masalah kesehatan fisik. Terutama yang menjadi korban tindak kekerasan. Bentuknya berupa luka dalam di badan atau kepala. Soal seberapa parah, kaÂmi belum bisa tetapkan. Karena masih perlu ada pemeriksaan lebih lanjut dari dinas terkait, setelah kami rekomendasikan lewat rapat Senin pekan depan.
Kenapa tidak langsung turun bersama dinas terkait saja?Tidak bisa. Prosedur dari kami memang seperti itu. Selidiki, buat risalahnya, ajukan ke raÂpat paripurna, baru kemudian hasilnya disampaikan kepada intansi terkait. Nanti instansi terkait yang akan menindaklanÂjutinya. Soalnya LPSK memang lembaga yang fungsinya lebih kepada untuk memfasilitasi. Kasus ini saja hanya merupakan tindaklanjut dari rekomendasi Komnas HAM. Rekomendasi Komnas HAM dikeluarkan 14 April 2016, tapi baru kami terima 10 Juni. Namun karena ada kekurangan terus, akhirnya berkasnya bolak-balik dan baru kami terima secara resminya awal Agustus ini. ***