Rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) perbankan syariah nasional sudah melewati batas maksimum 5 persen. Kondisi tersebut dikhawatirkan menjadi kendala utama industri perbankan syariah dilirik investor.
Melirik data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis per Agustus 2016, diketahui NPF bank syariah mencapai 5,54 persen. Angka tersebut juga naik dari potret tahun lalu, di mana NPF bank syariah juga mencaÂpai 5 persen. Hingga 2015 ada 12 bank syariah yang NPF-nya melampaui 5 persen. Dari jumlah tersebut, lima di antaranya adalah bank umum syariah, dan 7 sisanya adalah unit usaha syariah.
Perbankan yang mencatatkan NPF tertinggi di antaranya Bank Muamalat sebesar 7,11 persen, Bank BJB Syariah 6,93 persen dan Bank Syariah Mandiri 6,06 persen, disusul Bank Victoria Syariah yang NPF-nya mencaÂpai 9,80 persen. Yang terparah adalah Maybank Syariah, yang mencatat lonjakan NPF hingga 35,15 persen.
Sementara di kelompok unit usaha syariah (UUS), rasio NPF tertinggi dialami unit usaha syariah Bank Sumut dengan rasio NPF mencapai 16,59 persen. Kemudian UUS Bank Kaltim dengan raÂsio NPF mencapai 7,91 persen. Selanjutnya UUS Bank Sumsel Babel dengan NPF 7,18 persen, UUS Bank Riau Kepri dengan NPF 6,68 persen, UUS Bank DKI dengan NPF 6,13 persen.
Direktur Keuangan dan Strategi BSM Agus Dwi Handaya (ADH) tak menampik jebloknya rasio pembiayaan bermasalahÂnya. Untuk itu, pihaknya bakal terus membenahi kualitas aset demi menuju target NPF di level 3 persen pada 2020.
ADH kemudian merinci, NPF gross per Juni 2015 sempat menÂcapai 6,67 persen dan berhasil ditekan lebih dari 100 basis poin menjadi 5,58 persen per Juni 2016. "NPF nett juga turun dari 4,70 persen menjadi 3,74 persen. Ini lebih cepat dari proyeksi di mana kami menargetkan hingÂga akhir tahun NPF di kisaran 5,5 persen," kata ADH kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Ditambahkan Direktur Risiko dan Pemulihan BSM Choirul Anwar, dari komponen yang ada, NPF mikro terbilang bagus. Secara year on year per Juni 2016, NPF konsumer turun menÂjadi 3,25 persen dari 4,92 persen dan NPF mikronya turun menjadi 3,27 persen dari 4,86 persen.
Untuk periode yang sama, mesÂki masih di atas 5 persen, NPF business banking dan komersial juga menunjukkan perbaikan. NPF business banking berhasil ditekan menjadi 8,09 persen dari 11,66 persen dan NPF komersial turun menjadi 6,43 persen dari 11,95 persen. BSM masih punya pekerjaan rumah mengatasi NPF korporasi yang naik menjadi 6,51 persen dari 4,38 persen.
"Booking korporasi baru di pertengahan 2015-2016 belum ada yang jatuh jadi NPF. Nah, NPF di korporasi kebanyakan yang booking sebelum 2014. Restrukturisasi sudah dilakukan, tapi belum berhasil," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Agustianto Mingka mengakui, hingga akhir tahun masih banyak tantangan yang masih membelit perbankan syariah, seperti masalah permodalan, efisiensi, inovasi produk, sumber daya maÂnusia (SDM), teknologi, layanan dan jaringan, pendanaan (
funding), kualitas aset dan lainnya.
"Dari sekian banyak masalah tersebut, salah satu permasalahan penting yang dihadapi masalah kualitas aset, yakni bagaimana perbankan syariah mengatasi dan mencegah NPF. Hal ini penting karena pada 2015, NPF perbankan syariah lebih tinggi dibanding non performing loan (NPL/kredit macet) bank konÂvensional," katanya kepada
Rakyat Merdeka.Namun Agustianto bilang, kondisi tersebut tidak hanya dialami industri keuangan syaÂriah. Sebab, hampir semua bank di Indonesia, baik konvensional maupun syariah dilanda pelamÂbatan pertumbuhan penyaluran kredit, yang kemudian diiringi peningkatan rasio kredit berÂmasalah. Hal ini dikarenakan faktor tekanan eksternal, seperti melemahnya ekonomi dunia.
"Untuk itu perlu ada analisa kredit yang baik sebelum memÂberikan pembiayaan agar tidak menyebabkan lonjakan NPF. Karena jika NPF rendah bisa menÂjadi indikator performa perusaÂhaan sehat, sehingga bisa menarik minat investor," imbuhnya.
Tak hanya itu, lanjut Agustianto, perbankan syariah juga perlu memÂperketat standar underwriting untuk menjaga kualitas pembiayaan dan selalu memonitor nasabah yang berkecimpung di sektor industri yang terkena dampak perlambatan ekonomi secara umum.
Namun ia masih menyimpan rasa optimistis industri keuangan syariah mampu bangkit, karena masih ada waktu untuk menekan NPF. "Stimulus dari pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Bank Indonesia soal relakÂsasi loan to value diharapkan memberi dampak positif ke perbankan syariah," pungkasÂnya. ***