Berita

Publika

Masih Banggakah Kita Di Hari Kemerdekaan?

KAMIS, 18 AGUSTUS 2016 | 21:08 WIB

71 tahun sudah bangsa ini berkibar, mendayung di atas perahu yang bernama Indonesia dalam hempasan badai global yang terus menerjang. Sayangnya, bangsa dan Negara ini sudah terhanyut dalam sistem ekonomi neo-liberal pasca jatuhnya Soekarno hingga saat ini.

Bangsa ini sepertinya sudah berada di titik tak bisa balik. Cengkaraman kapitalisme global telah merengsek masuk tidak saja ke dalam sistem ekonomi tetapi juga menjalar bahkan mengakar pada bidang politik, budaya, pendidikan dan sosial.

Siapapun pemimpin yang lahir dalam jeratan neoliberal ini hampir pasti akan kesulitan mengeluarkan bangsa ini dari cengkraman kemiskinan, ketidakadilan dan dehumanisasi yang makin akut.


Data yang dirilis Badan Pusat Statistik tentang koefisien Gini (kesenjangan pendapatan dan kekayaan) sesungguhnya sangat mengenaskan. Pada September 2015, setidaknya memberi gambaran tentang tidak terjadinya pemerataan kesejahteraan sosial.

Pada September 2015, koefisien Gini Indonesia berada di posisi 0,40. Meskipun turun 0,01 dibandingkan Maret 2015, angka ini masih mengkhawatirkan. Data ini secara sederhana dapat diartikan begini: sekitar 1 persen orang Indonesia menguasai 40 persen kekayaan nasional pada 2015. Kondisi ini meningkat tajam karena tahun 2000, sekitar 1 persen orang Indonesia itu hanya menguasai 30 persen kekayaan nasional (Nugroho, Wisnu, dalam Kompas.com 15/08/2016).

Lantaran tidak kuasa atas 40 persen kekayaan nasional di tangah 1 persen orang Indonesia, tentu kita berharap, 60 persen kekayaan nasional sejak 2015 dinikmati secara merata di antara 99 persen penduduk Indonesia.

Menurut analisis Wisnu Nugroho faktanya tidak demikian. Di antara 99 persen orang Indonesia itu ada tingkatan akumulasi kekayaan yang ketimpangannya justru kerap lebih dirasakan. Orang superkaya yang masuk 1 persen jarang menunjuk-nunjukkan tingkat kesuperkayaannya.
Dari data ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan kesejahteraan masih dinikmati segelintir orang. Dengan demikian kemerdekaan itu pun masih menjadi milik segelintir orang. Siapa segelintir orang itu?

Seperti dikatakan sebelumnya, bangsa ini sudah terlalu jauh melangkah, merongsok masuk dalam sistem neo-liberalisme global. Dalam sistem ini, selain menjalankan persaingan ekonomi yang tidak fair, juga ada relasi keintiman antara pengusaha dan penguasa yang secara langsung mengorbankan rakyat. Relasi yang timpang ini justru semakin menjauhkan rakyat kecil dari kesejahteraan, akses kemerdekaan bahkan diprivatisasi oleh kaum bermodal.
Adapun jargon pembangunan yang didengungkan hanya sebatas tipu daya untuk mengibuli public. Pembangunanisme justru dijadikan arena praktek hegemoni kapitalistik yakni sebuah arena yang selalu menepatkan rakyat kecil sebagai orang-orang kalah.

Yah, disebut orang-orang kalah karena semarak pembangunan infrastruktur mulai perencanaan, proses dan outputnya hanya menguntung pemodal. Rakyat di tengah rendahnya modal sosial dan budaya hanya menjadi penonton dalam pembangunan sembari terlena dalam kebanggaan semu tanpa tahu bagaimana memanfaatkan pembangunan itu. Pembangunan pada akhirnya menjadi senjata pemiskinan manusia bukan kesejahteraan.
Satu pertanyaan kunci bagi kita, di tengah semarak hari kemerdekaan yang hari ini dirayakan, masihkah kita berbangga dengan ceremonial, aneka perlombaan, lagu-lagu merdu dan cara unik pengibaran bendera? Apakah kita sadar bahwa perayaan kemerdekaan itu hanya simbolis semata, sementara secara substansi kemerdekaan itu telah dirampas kaum oligarkis?

Jokowi, salah satu pemimpin yang diharapkan mampu membangun kembali mimpi-mimpi kebangsaan itu pada akhirnya tunduk pada hegemoni kapitalisme global. Lihat saja paket kebijakannya dalam mengatasi goncangan ekonomi beberapa waktu lalu. Hampir semua paket kebijakan tersebut seperti akses investasi asing yang makin longgar hanya dijalankan untuk kepentingan pemodal. Bahasa paling latahnya adalah melanggengkan hegemoni kapitalistik di Indonesia. Atau jika sedikit membaca arah reshuffle kabinet jilid II, menteri-menteri sentral justru diisi oleh orang-orang yang telah ‘diracuni’ oleh spirit ekonomi liberal.

Jika kita masih punya optimisme untuk tetap menjalankan trisakti Bung Karno sebagai jalan 'pembebasan', apa dan bagaimana yang harus dilakukan?
Kita butuh pemimpin yang berani. Pemimpin yang bukan saja 'berwajah rakyat' tetapi juga pemimpin yang punya keberanian untuk melawan arus ekonomi global yang selalu menghempaskan kita pada jurang kekalahan. Keberanian itu harus diwujudnyatakan dalam program pembangunan yang tidak hanya focus pada basis modal financial tetapi juga modal sosial dan budaya.

Jika dihubungkan dengan spirit revolusi mental, sesungguhnya pembangunan fisik bukanlah solusi yang tepat. Pertama-tama yang harus dibangun adalah jiwanya, rohnya dari pada masyarakat Indonesia. Melalui pembangunan berbasis modal sosial-budaya, spirit revolusi mental dapat terwujud dengan penguatan nilai, soft skill dan karakter bangsa.

Setelah modal sosial-budayanya terbangun, barulah kita dapat menggenjot pembangunan infrastruktur. Adalah suatu kecelakaan pembangunan, jika infrastrukturnya semarak tetapi tidak mampu dinikmati rakyat kecil, kaum marhaen.  Pada akhirnya pembangunan infrastruktur itu juga hanya dinikmati kaum pemodal untuk memperluas investasinya sampai ke kampung-kampung di pelosok Indonesia.

Kebijakan ini bisa jadi tidak popular seperti bahasanya Jokowi, tetapi harus dilakukan jika bangsa dan Negara ini mau maju. Dengan keberanian itu kita mampu mandiri secara ekonomi, berkepribadian secara budaya dan berdaulat secara politik.

Saya tidak mau sumber daya 'yang tersisa' itu habis dilahap kaum serakah, baru muncul keberanaian dan kesadaran kita. Bisa jadi keberanian itu melahirkan turbelensi politik dan ekonomi tapi kita harus memilih. Kita dihadapkan pada dua dilematika besar, melawan dengan risiko 'diasingkan' oleh dunia internasional lalu kita merangkak sendiri untuk membangun kemandirian bangsa atau tidak melawan dengan risiko kita akan hidup sengsara di tanah kita sendiri, selamanya. Tanah tempat kita hidup, lahir dan mati, di tanah tempat darah dan air mata pahlawan justru menjadi surga untuk investor asing. Semoga semerak kemerdekaan hari ini, membangkitkan semangat dan keberanian untuk melakukan tindakan-tindakan besar bagi bangsa dan Negara ini. Merdeka! [***]

Pius A. Bria
(Sekjen Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya