Kasus kekerasan di sekolah kembali terjadi. Di Makassar, Sulawesi Selatan, seorang guru SMK Negeri 2 Makassar, dianiaya orangtua siswa. Penyebabnya, anaknya menÂgadu telah ditampar oleh gurunya karena tidak mengerÂjakan pekerjaan rumah.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut. "Harusnya kalau ada anak yang nggak mengerjakan PR kemudiÂan dia ngadu ke orangtua, orang tua bukan memarahi guru, tapi seharusnya menasihati anak," kata Ni'am kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Lantas, apa penyebab peristiwa kekerasan di sekolah selalu berulang, berikut penjelasan Ni'am.
Kasus kekerasan di sekoÂlah kembali terjadi, apa peÂnyebabnya?
Peristiwa itu terjadi karena tidak ada integrasi antara orangÂtua siswa itu sebagai penanggung jawab pendidikan di keluarga, dengan guru sebagai penangÂgung jawab pendidikan di sekoÂlah. Alih-alih saling mendukung justru saling menegasikan dan saling bertabrakan. Tentu ini bermasalah dari sisi konsep dan nggak pas juga.
Peristiwa itu terjadi karena tidak ada integrasi antara orangÂtua siswa itu sebagai penanggung jawab pendidikan di keluarga, dengan guru sebagai penangÂgung jawab pendidikan di sekoÂlah. Alih-alih saling mendukung justru saling menegasikan dan saling bertabrakan. Tentu ini bermasalah dari sisi konsep dan nggak pas juga.
Lantas bagaimana seharÂusnya sikap orangtua yang sudah menitipkan anaknya di sekolah?Harusnya kalau ada anak yang nggak mengerjakan PR kemudiÂan dia ngadu ke orangtua, orang tua bukan memarahi guru, tapi menasihati anak.
Tapi guru kan tidak perlu pakai kekerasan juga kepada siswanya?Nah di situ-lah pentingnya keterkaitan antara orangtua sebagai pendidik dan pengasuh anak di rumah, dengan guru sebagai pendidik dan pengasuh di lingkungan sekolah saling mendukung. Kasus ini menjadi bahan evaluasi dan menunjukÂkan pentingnya pusat-pusat pendidikan untuk membentuk karakter siswa, dengan dukunÂgan dari keluarga.
Bagaimana cara membenÂtuk karakter tersebut?Untuk membentuk karakter anak bermoral yang dibutuhkan adalah pendidikan, terutama pendidikan karakter. Sembari proses perbaikan di lingkungan sekolahnya dengan seluruh sumÂber daya yang ada juga, jangan lupa kita melakukan penguatan di level keluarga karena di dalam sistem pendidikan kita dikenal tiga pusat pendidikan, yaitu keÂluarga, sekolah, masyarakat.
Terkait pernyataan Mendikbud yang sepertinya mentolerÂir sanksi fisik dari guru untuk menertibkan siswa, tanggapan Anda?KPAI juga sudah mengklariÂfikasi soal pernyataan tersebut, karena memang mengesankan adanya toleransi terhadap sanksi fisik dalam pendidikan. Kami menegaskan bahwa, pendidikan adalah proses untuk membuat orang beradab dan berbudaya. Sedangkan kekerasan cermin kebiadaban dalam menyelesaiÂkan masalah. Untuk itu tidak ada ruang kekerasan dalam pendidikan.
Oh ya, soal rencana peneraÂpan full day school, bagaimana hasil pertemuan Anda dengan Mendikbud?Mendikbud menjelaskan waÂcana tentang
full day school yang dikaitkan dengan penguaÂtan pembangunan budi pekerti dan karakter.
Tanggapan Anda?KPAI menyampaikan pandanÂgannya terkait isu-isu yang lebih prioritas.
Apa itu?Terkait keberagaman konÂdisi. Kesiapan infrastruktur dan kasus-kasus pendidikan yang harus diantisipasi. Dan Mendikbud menyampaikan bahwa konsepnya sudah ada tapi masih mentah. Mendikbud meminta masukan KPAI.
Seberapa penting peneraÂpan full day school bagi anak sekolah?KPAI menyampaikan pentingÂnya penguatan perspektif perlindÂungan anak dalam penyusunan kebijakan nasional pendidikan. Lalu, KPAI juga menyampaikan pentingnya penguatan pendidiÂkan keluarga. Undang-Undang Sisdiknas mengamanahkan penÂdidikan pada tiga sektor; formal, nonformal dan informal. Untuk itu, keinginan pembangunan karakter harus ditopang denÂgan penguatan tiga aspek ini. Pendidikan di level keluarga juga menduduki kedudukan yang sangat penting. Bukan sekedar di sekolah. Apalagi hanya menÂgandalkan dan bertumpu pada sekolah semata. Di sinilah pentÂingnya pembangunan ketahanan keluarga. ***