Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan dan PariÂwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah menÂgatakan, pemerintah saat ini sedang melakukan percepatan proyek pengelolaan panas bumi mencapai agar mampu memÂbangkitkan listrik hingga 7 ribu Megawatt (MW) pada 2025. PGE sendiri ditargetkan mengÂhasilkan listrik 2.700 MW di rentang tahun 2020-2030.
Untuk itu, pemerintah berenÂcana menjadikan PGE sebagai holding perusahaan geotermal, dimana PLN akan menjadi penaÂnam modal di holding tersebut.
"Tidak ada akuisisi, PLN hanya akan inject (menyuntik) modal ke PGE. Jadi bukan PLN mencaplok, kalau mencaplok ini (geotermal) nggak berkembang. Justru ini kita ingin membesarkan potensi geotÂermal," kata Edwin di Jakarta.
Dilanjutkannya, Kementerian BUMN sudah melakukan disÂkusi dengan PLN terkait rencana tersebut. Kedepan, akan ada joint force antara kedua perusahaan ini agar PGE menjadi holding dari perusahaan geotermal milik bumn yang sekarang masih terpiÂsah antara milik PLN dan PGE.
"Selama ini, keuangan PGE disupport Pertamina, mereka sudah mendanai PGE hingga 1,2 miliar dolar Amerika. Dengan masuknya PLN, diharapkan PGE akan lebih kuat, karena saat ini Pertamina punya penugasan lain yang cukup besar dari peÂmerintah, seperti merevitalisasi sejumlah kilang-kilang yang juga membutuhkan kapitalisasi luar biasa," lanjut Edwin.
Meski PLN masuk ke PGE, kata Edwin, nantinya PGE tetap dibawah Pertamina, tapi untuk pengelolaan geotermalnya PLN ikut ambil bagian. "Jadi dibuatlah satu entity yang solid supaya geotermalnya BUMN bisa berkembang dan bisnisnya semakin kuat," tegasnya.
Analis Ketahanan Energi dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Dirgo D Purbo menÂgatakan, Pertamina yang akan menjadi perusahaan induk (holdÂing) BUMN di sektor energi, diniÂlai lebih ideal untuk mengelola PT PLN (Persero), dibandingkan PLN mengelola PGE.
"Karena, selama ini untuk urusan energi listrik, Pertamina yang memasok bahan bakar minyak dan panas bumi ke PLN. Cost-nya tentu akan jadi lebih murah jika PLN jadi anak usaha Pertamina," ujar Dirgo.
Menurutnya, mekanime holdÂing lebih tepat dibandingkan mengalihkan PGE ke PLN. Apalagi PGE merupakan peruÂsahaan yang bergerak sebagai pengelola energi panas bumi, sedangkan PLN merupakan peÂrusahaan distribusi dan transmisi listrik. "Seharusnya masing-masing fokus saja dalam dua biÂdang usaha tersebut," tukasnya.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra Harry Poernomo menambahkan, lebih ideal kalau pemerintah membentuk holding BUMN energi yang didalamnya, tidak hanya berisi Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk .
"Idealnya Pertamina, PGN, dan PLN sekaligus di dalamÂnya, juga ada SKK Migas yang khusus untuk urusan kontraktor migas asing," kata dia.
Harry mengungkapkan tidak masalah kalau PGE akan disatuÂkan dengan PLN sebagai pembeli tunggal uap panas bumi. Namun penyatuan tersebut menunjukÂkan tidak adanya kesatuan visi dan misi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya MinÂeral (ESDM) dan Kementerian BUMN dalam mewujudkan keÂcukupan energi listrik murah dan ramah lingkungan.
Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) juga khawatir pengambilaÂlihan PGE oleh PLN berpotensi mematikan pengembangan panas bumi. Apalagi selama ini pengemÂbangan panas bumi kerap kali terÂganjal masalah harga jual listrik oleh PLN, sebagai satu-satunya pembeli listrik dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).
Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. "Kalau benar-benar terealasi, ini akan meÂmatikan itu semua," tegas Ketua API Abadi Purnomo. ***