Rendahnya minat investor terhadap lelang dua proyek pembangkit listrik yakni Pusat Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Pontianak dan PLTMG Scattered Riau menjadi bukti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak memiliki perencanaan yang baik dalam melaksanakan tender.
Selain itu, PLN juga dianggap tidak memiliki sense investor oriented sehingga lelang yang dilakukan sama sekali tidak menarik bagi investor.
"Harusnya dalam perencanaan, PLN tidak hanya melihat dari sisi (kebutuhan) PLN tetapi juga dari sisi investor. Kalau tidak menarik bagi investor akibatnya seperti ini, tidak sukses. Harusnya investor oriented, sehingga mengundang peminat peserta tender. Jika itu terjadi, sebenarnya menguntungkan juga buat PLN karena mereka tinggal memilih. Kalau sekarang apanya yang dipilih, yang ikut bidding saja tidak ada," jelas Ketua Komtap Industri Energi Migas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Santoso kepada wartawan, Jumat (5/8).
Kedua poyek tersebut adalah bagian dari program kelistrikan 35.000 Mega Watt (MW) di Indonesia. Keduanya semula ditargetkan rampung pada 2019, namun sampai batas akhir penyerahan dokumen pernyataan minat mengikuti tender pada 26 Juli 2016 lalu tidak satu pun calon investor yang menyerahkan dokumen lelang.
Santoso menambahkan, sebenarnya mudah melakukan tender dengan pendekatan investor oriented karena sebagai pelaku usaha indikator bagi investor pun tidak banyak. Misal internal rate return (IRR) yang merupakan indikator tingkat efisiensi suatu investasi.
"Sebenarnya itu saja. Kalau investor menganggap bahwa indikator tidak masuk tentu tidak akan ada yang berminat," lanjutnya.
Contoh bahwa PLN tidak punya sense investor oriented terlihat dari proyek Riau Scattered yang ditetapkan di delapan titik berbeda. Menurut Santoso, proyek itu sangat tidak efisien karena total kapasitas hanya 180 MW. Kedelapan titik itu adalah Dabo Singkep, Tanjung Pinang, Tanjung Batu, Tanjung Balai Karimun, Selat Panjang, Bengkalis, Belitung, dan Natuna.
Seharusnya yang juga menjadi perhatian adalah inkonsistensi PLN dalam menentukan siapa yang harus memasok gas. Karena berbeda dengan PLTGU Jawa-1 di mana PLN malah mengubah term pihak yang memasok gas dari investor menjadi PLN maka dalam kedua proyek di Riau dan Pontianak justru semua diserahkan kepada investor.
"Hal ini memberi kesan bahwa ketika pasokan gas mudah didapat dan menguntungkan maka diambil alih PLN. Namun ketika pasokan gas sulit maka diserahkan kepada investor," jelas Santoso.
Sementara itu, Sekjen Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Heru Dewanto juga menyayangkan sepinya kedua proyek tersebut dari investor. Menurutnya, dalam logika sederhana, minimnya minat karena memang bisnis tersebut dianggap tidak menarik.
Dalam proyek tersebut, terdapat dua hal yang harus dilakukan investor. Pertama adalah membangun pembangkit dan mencari suplai gas.
"Dari dua itu, saya menduga bahwa yang tidak memenuhi skala ekonomi adalah terkait suplai gas. Kondisi demikian, membuktikan bahwa PLN tidak secara cermat menghitung. Padahal kalau sudah tidak layak tentu tidak akan ada yang mau," ujar Heru.
Dalam konteks lebih luas, masalah ini semakin memperkuat bahwa program 35 ribu MW sudah masuk ketegori lampu kuning dapat dipastikan delay dari target semula, yakni 2019.
Untuk itu, lanjutnya, jika masih ingin menyelesaikan program 35 MW maka harus dilakukan review dan re-program. Dan dalam pelaksanaan nanti tidak ada ruang bagi PLN untuk membuat kesalahan.
"Kalau ingin membangun 35 ribu MW dalam waktu lima tahun maka tidak bisa menggunakan organisasi dan mesin yang sama dengan saat membangun 35 ribu MW dalam waktu 30 tahun di masa Orba dulu. Termasuk di antaranya, PLN harus lebih investor oriented dalam melaksanakan tender," demikian Heru.
[wah]