Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berniat memindahkan Pertamina Gertamina Geothermal Energy (PGE) kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Proses ini dilakukan melalui Memorandum Of Understanding (MOU) kedua BUMN tersebut.
Nantinya PGE tidak lagi di bawah manajemen Pertamina, namun diambil alih PLN. Tujuan dari MOU tersebut untuk mendukung mega proyek ambisius listrik 35 ribu megawatt.
Pengamat ekonomi dan politik dari pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Salamuddin Daeng mengkritisi upaya pemindahan itu justru melemahkan Pertamina.
"Apalagi PGE merupakan bisnis energi masa depan yang menjadi sasaran incaran investor swasta baik nasional maupun asing," kata Salamuddin.
Untuk diketahui, proyek 35 ribu megawatt bertumpu pada penguasaan sektor swasta terhadap pembangkit listrik melalui strategi Independent Power Producer (PPP) atau dikenal dengan pembangkit listrik swasta.
"Cepat atau lambat aset yang berasal dari Pertamina PGE akan berpindah ke tangan swasta," ujarnya, mewanti-wanti.
Bukan hanya itu, menurut dia, pengambilalihan aset PGE oleh PLN akan menjadi alat bagi PLN dalam menumpuk utang baru dalam rangka menambal utang lama. Sebab selama ini PLN telah dijadikan sandaran oleh pemerintah yang berkuasa untuk menumpuk utang.
Tahun 2014 lalu, dari data yang diketahuinya, aset PLN senilai Rp 539 triliun tiba tiba meningkat menjadi menjadi Rp 1.227trilun. Atas dasar itulah pengambilalihan PGE oleh PLN diyakininya sama sekali bukan dalam rangka menyelamatkan rakyat Indonesia dari krisis energi listrik, namun semata mata kepentingan para cukong dan taipan dalam menguasai aset negara baik itu Pertamina dan PLN.
"Oleh karena itu maka seluruh rakyat Indonesia dan serikat pekerja kedua BUMN sektor energi tersebut, harus bersatu untuk menolak segala bentuk liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi energy nasional," tegasnya
.[wid]