Perkembangan peradaban manusia menunjukkan kecenderungan berbagai negara beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati.
Hal tersebut didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut.
Demikian pernyataan pers Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengungkapkan isi suratnya kepada Presiden Joko Widodo tertanggal 29 Juli 2016 lalu, setelah ekseskusi mati jilid 3 berlangsung. Surat dengan nada sama pernah disampaikan PGI kepada Presiden pada tanggal 5 Maret 2015 menjelang eksekusi jilid 2.
PGI mengatakan, dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati tidak akan pernah bisa dikoreksi kembali karena sudah berakhir.
"Kita mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrah sekali pun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut. Dalam hal demikian, sangat berisiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata ditemukan keliru," terang Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow, kepada wartawan.
PGI pun memandang eksekusi hukuman mati juga memutus mata rantai kemungkinan penyelidikan lebih lanjut karena pelaku tidak lagi dapat dimintai informasi terkait faktor-faktor dan orang-orang terkait yang terlibat dalam kasus tersebut. Dalam keadaan demikian, bukan tidak mungkin, hukuman mati dijatuhkan dan dieksekusi justru untuk melindungi oknum-oknum tertentu di balik kasus yang menimpa terhukum hukuman mati.
Selain itu, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, maka negara semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab dalam perspektif hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 pada 28 I ayat (1) bahwa "hak untuk hidup,... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
"Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tidak lagi mengizinkan terjadinya praktik hukuman mati dalam negara kita," tegas Jeirry.
[ald]