DPR mempertanyakan langkah hakim tinggi Lilik Mulyadi dan hakim PN Jakarta Pusat Binsar Gultom yang menggugat keberadaan hakim agung nonkarier di Mahmakah Agung (MA). Langkah dua hakim itu dinilai sebagai sikap keengganan ada perbaikan di dunia peradilan Indonesia.
Anggota Komisi III DPR, Sarifuddin Sudding menegasÂkan, keberadaan hakim agung nonkarier sudah terbukti baik dalam memulihkan kepercayaan publik dalam dunia peradilan. Ketegasan hakim agung Artidjo Alkostar dalam menghukum beÂrat para koruptor disambut baik publik. Demikian juga ketegasan hakim agung Gayus Lumbuun yang tak segan menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan sadis.
"Saya ambil contoh Pak Artidjo Alkostar. Beliau dikeÂnal sebagai algojo para koruptor. Sikap beliau dianggap memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masak lembaga peradilan tak ingin memperluas penilaian positif ini," tegas Sudding di Gedung DPR, kemarin.
Untuk itu, Sudding meminta para hakim karier tidak cemÂburu dengan keberadaan hakim agung nonkarier. Keberadaan hakim agung nonkarier dalam UU Kehakiman bertujuan untuk memperbaiki institusi peradilan. Sebab, integritas dan rekam jejak hakim karir kerap bermasalah.
"Poin utamanya adalah soal integritas, bukan sekadar tahu hukum. Banyaknya hakim karir bermasalah atau terkena kasus mendorong kami untuk membuÂka ruang dalam undang-undang. Itu semangatnya," jelas politisi Hanura ini.
Dengan tujuan tadi, Sudding berharap, publik dan para haÂkim tidak lagi mendikotomikan antara hakim agung karier dan nonkarier. Ia meminta agar seluÂruh jajaran di institusi peradilan ikut memberi ruang adanya perubahan dan perbaikan peÂlayanan terhadap masyarakat. "Ke depan, tidak boleh lagi ada dikotomi," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menegasÂkan, hakim nonkarier harus tetap ada. Alasannya, hakim nonkarier telah memberi warna baik dalam proses peradilan.
"Kalau komplainnya hakim nonkarier tak memberikan warÂna baik, toh hakim karier juga sama. Kan banyak hakim karier yang justru tidak memberikan terobosan positif," tegasnya.
Arsul menambahkan, dalam pembuatan aturan mengenai hakim agung nonkarier, DPR mendapat banyak masukan dari masyarakat. Dari berbagai masuÂkan itulah DPR memutuskan haÂkim agung nonkarier dibutuhkan untuk memperbaiki MA.
"Adanya hakim nonkarier kan kesepakatan ketatanegaÂraan pascareformasi. Itu suÂara masyarakat juga. Lantaran itu, DPR belum berpikir untuk menghapus hakim nonkarier," tegasnya.
Sebagai salah satu hakim agung nonkarier, Gayus Lumbuun ikut bicara. Guru besar hukum adÂministrasi negara Universitas Krisnadwipayana ini menegasÂkan, hakim agung nonkarier merupakan produk reformasi. "Jangan dilupakan, hakim agung nonkarier adalah hasil reformasi yang menjadi darah segar bagi MA untuk upaya mereformasi lembaga yudikatif," tuturnya, kemarin.
Semangat munculnya hakim agung nonkarier adalah unÂtuk menggabungkan keilmuan akademisi dengan praktisi yang dimiliki hakim agung karier. Penggabungan itu dinilai teÂpat untuk mengatasi berbagai permasalahan di lembaga penÂgadilan.
"Mati kita lihat secara riil. Dalam perjalananya, kita menÂgenal Prof Bagir Manan yang menjadi Ketua MA dua periode. Ada juga Artidjo Alkostar dan sebagainya," beber Gayus.
Atas hal itu, Gayus meminta Lilik dan Binsar berpikir ulang dalam mengajukan gugatan itu. "Coba dipikirkan ulang masak-masak," sarannya.
Sayang, Binsar Gultom seperÂtinya sudah bulat dengan gugaÂtan itu. Dia menganggap syarat untuk menjadi hakim agung nonkarier terlalu ringan dibandÂingkan dengan hakim karier. Oleh sebab itu, ia menggugat aturan itu. "Terjadi diskriminasi yang spektakuler," tegasnya.
Syarat yang terlalu ringan yang dimaksudnya adalah usia minimal 45 tahun dan pengalaÂman di bidang hukum minimal 20 tahun. Dia ingin syarat itu dinaikkan menjadi usia miniÂmal 55 tahun dan pengalaman minimal 25 tahun seperti hakim karier. ***