Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat, sepanjang Mei dan Juni 2016, praktis tidak ada pembahasan Revisi KUHP di Panja Komisi III DPR. Kesibukan terkait pembaÂhasan RUU Terorisme dan RUU lainnya, telah menyita waktu pembahasan Revisi KUHP. Praktis pasca reses pada 16 Mei 2016, tidak ada lagi rapat panja Revisi KUHP di Komisi III DPR.
Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono menuturkan, pada pembahasan terakhir Panja Komisi III, mayÂoritas pembahasan telah mengÂhasilkan kesepakatan.
"Namun masih ada beberapa pasal yang ditunda. Namun, dalam rapat tersebut juga telah disusun rencana-rencana baru terkait hasil pembahasan Buku I Revisi KUHP," ujarnya.
Rencana tersebut pada pokoknya antara lain, hasil selama pembahasan akan di selesaikan oleh tim perumus dan tim sinkroÂnisasi yang akan di bentuk oleh Panja Komisi III. Sementara tim kecil akan tetap bekerja untuk menyisir pasal-pasal yang telah disepakati dan yang dibuang.
"Selain itu, pemerintah dimÂinta merumuskan dan menyisir kembali selama masa reses terÂmasuk memformulasikan kemÂbali beberapa pasal," katanya.
Supriyadi melihat, pasca reÂses rapat Revisi KUHP justru dilakukan oleh tim internal peÂmerintah. Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan rapat koordinasi tim pemerintah dengan tenaga ahli DPR pada 13-15 Juni 2016 lalu. Rapat ini dilakukan untuk menggodok hasil pembahasan Buku I RUU KUHP.
Berdasarkan hasil Rapat Panja terakhir, pemerintah masih diÂtugaskan meniyisir kembali beberapa pasal yang telah diruÂmuskan, dan memformulasikan ulang beberapa pasal misalnya Pasal 53 dan 54, Pasal 58-61, dan Pasal 139-159 Buku I KUHP.
"Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong agar pemÂbahasan Buku Itetap segera dilanjutkan, karena beberapa pasal masih membutuhkan kesepakatan dan pendalaman dari pemerintah dan keputusan pleno oleh Komisi III," katanya.
Beberapa pasal krusial yang masih menggantung terutama mengenai masalah tanggung jawab korporasi dan masalah Pasal 58-61 tentang perubahan atau penyesuaian pidana yang masih harus dirumuskan ulang, disepakati dan diplenokan oleh Panja Komisi III.
Aliansi juga mendorong Komisi III juga memberikan waktu bagi para pakar ahli huÂkum pidana nasional lainnya untuk membaca ulang hasil pembahasan sementara Buku I, terutama di bagian I dan bagian II yang telah disepakati sebelum Pleno Panja Komisi III.
"Pembacaan ulang ini sangat krusial untuk melihat kembali naskah Buku I KUHP terutama untuk memperhatikan kembali rumusan-rumusan baru dan beÂberapa materi krusial yang tidak kurang tepat atau mungkin lolos dari pembahasan Buku I KUHP," tandas Supriyadi.
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR, Benny K Harman mengatakan, pihaknya telah menyelesaiÂkan pembahasan revisi KUHP bagian satu dan akan terus melanjutkan pembahasan seÂcara marathon.
"Kita bersyukur setelah setahun membahas, kita telah rampungkan buku satu. Selesai juga beberapa masalah krusial, telah tercapai kesepakatan," katanya.
Dia menambahkan, buku satu RUU KUHP ini merupakan hal yang sangat krusial karena menjelaskan beberapa persoalan pokok seperti tentang asas legalÂitas, hukuman mati, perbuatan melawan hukum dan sebagainya telah bisa dicapai kesepakatan. "Ini penting, hal-hal krusial di bagian satu ini sudah tercapai kesepakatan," ujarnya.
Meski pemerintah telah meÂnetapkan hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual terÂhadap anak, hak-hak para korban juga harus dipenuhi. Tak hanya pemerintah, semua pihak diminta mendukung peÂmenuhan hak-hak anak korban kejahatan seksual.
Pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi menyebutkan, di Indonesia laporan mengenai kasus kejahatan seksual terhÂadap anak mencapai 3.000 kaÂsus per tahun. Jumlah tersebut sangat rendah bila disbanding laporan kasus kejahatan yang sama di Inggris. Di negara tersebut, angka kejahatan sekÂsual terhadap anak yang diÂlaporkan mencapai 300.000 kasus setiap tahunnya.
"Perbedaannya, korban keÂjahatan seksual di Inggris maupun keluarga terdekatÂnya, berani melapor kepada pihak berwajib. Sementara di Indonesia, masih ada keluarga yang menganggap kejahatan seksual yang menimpa anak sebagai aib keluarga sehingga tidak dilaporkan," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Kak Seto mengingatkan, selain menghukum pelaku dengan melaporkan kasus keÂjahatan seksual kepada aparat penegak hukum, hal lain yang tak boleh dilupakan yaitu penanganan terhadap korban itu sendiri.
Apalagi, anak yang menjadi korban kejahatan seksual saat ini tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. "Jika anak yang menjadi korban kejahatan seksual ini tidak mendapatkan penanganan yang layak, maka hal itu akan berdampak kepada mereka," katanya..
Dia menerangkan, untuk korban laki-laki, dampak yang dialami biasanya mereka akan ketakutan dan ada pula yang merasa ketagihan sehingga berpotensi menjadi pelaku atau predator seksual bagi anak lainnya.
Sedangkan bagi korban anak perempuan, jika tidak ditanÂgani dengan layak, mereka akan terjerumus dalam kehiduÂpan seks bebas dan sebagian di antaranya beralih menjadi pekerja seks profesional.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan pemerintah sudah melahirkan Perppu no. 1 tahun 2016 yang memperberat hukuÂman bagi pelaku kejahatan seksual anak.
Namun, tidak cukup dengan menghukum pelaku seberat-beratnya karena ada hal yang lebih penting, yaitu bagaimana anak korban kejahatan seksual bisa mendapatkan kehidupan seperti sebelum terjadinya keÂjahatan. "Bagaimana dia tetap bisa sekolah, mendapatkan pasangan dan hidup normal," katanya.
Menurut Semendawai, laÂhirnya Perppu mengasumsikan kasus kejahatan seksual harus diusut tuntas dan disidangkan di pengadilan. Namun, pada banyak kasus, justru kasus kejahatan seksual tidak banyak yang terungkap ke permukaan, apalagi sampai disidangkan ke pengadilan.
"Hal itu bisa disebabkan berbagai faktor, mulai korban yang tidak berani melapor dan keengganan aparat penegak hukum mengusut kasus terseÂbut dengan dalih tidak ada saksi dan lain sebagainya," ungkapnya. ***