Beberapa isu krusial jadi topik pembahasan dalam seminar yang digelar antara Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme DPR dengan para stakeholder. Antara lain, penghilangan stigma muslim sebagai teroris, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan transparÂansi anggaran penindakan pidana terorisme.
"Karena dalam praktik, banÂyak yang melakukan tindak kekerasan untuk tujuan tertentu, bukan dilakukan umat Islam. Jadi stigma itu tidak benar. Itu yang pertama," kata Ketua Pansus RUU Tindak Pidana Terorisme, Muhammad Syafi'i kepada Rakyat Merdeka, semaÂlam. Berikut penjelasan Syafi'i.
Bagaimana perkembanÂgan pembahasan RUU Terorisme?
Jadi kita sudah sampai pada tahap penyerapan aspirasi. Kita mengadakan seminar yang kemarin dilaksanakan dengan para stakeÂholder. Komnas HAM, Kontras, LPSK. Kemudian ada pengamat intelijen, pengamat hukum pidana, pakar hukum tata negara.
Jadi kita sudah sampai pada tahap penyerapan aspirasi. Kita mengadakan seminar yang kemarin dilaksanakan dengan para stakeÂholder. Komnas HAM, Kontras, LPSK. Kemudian ada pengamat intelijen, pengamat hukum pidana, pakar hukum tata negara.
Apa saja yang dibahas?Jadi yang dibahas adalah apa yang harus dimasukkan dalam materi perubahan UU 15 tahun 2003 tentang indak pidana pemÂberantasan teroris. Ada beberapa isu krusial, antara lain tentang sigmatisasi terorisme terhadap umat Islam. Supaya tidak terus berlangsung seperti itu.
Untuk apa?Karena dalam praktik banyak yang melakukan tindak kekÂerasan untuk tujuan tertentu, bukan dilakukan umat Islam. Jadi stigma itu tidak benar. Itu yang pertama.
Lalu?Yang kedua soal perlindungan HAM. Itu kan dalam RUUyang diberi pemerintah kan tidak ada ya. Jadi dalam rancangan itu tidak ada, baik terhadap terduga maupun korban.
Memang perlindungan HAM-nya seperti apa?Jadi terduga itu mulai dari penangkapan, proses pemerikÂsaan sampai proses penuntutan itu tidak ada. Dan dalam RUUitu pemerintah malah memasukÂkan usulan menambah masa penahanan. Dari yang saat ini 180 hari menjadi 510 hari. Nah, itu kan luar biasa.
Juga terhadap korban. Misalnya ada pemboman, nanti siapa yang bertanggung jawab. Dalam RUUini tidak ada.
Siapa yang berhak menemÂpatkan seseorang itu adalah korban, dan apa hak-haknya. Ditambah lagi ada pasal penyÂadapan. Dalam hal ini, penyÂadapan tidak menunggu kepuÂtusan pengadilan, dan tidak ada jangka waktunya. Nah ini juga dianggap tidak ada perlindunÂgan HAM.
Selanjutnya?Kemudian belum ada transÂparansi dalam kegiatan. Tidak ada transparansi kegiatan operasi dari Densus 88 ya.
Maksudnya?Tidak ada audit keuangan. Ini juga kan cenderung menjadikan kekuasaan yang ada pada aparat diselewengkan.
Abuse of power. Kemudian yang menjadi pembaÂhasan adalah keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Memang kenapa?Ini kan persoalannya, kalau UUini murni penegakan huÂkum, nah itu kan yuridiksinya Polri. Kalau TNI hanya diperÂbantukan.
Lalu di mana masalahnya?Dalam UU TNI itu kan ada tuÂpoksi TNI untuk mengamankan negara dari gangguan teroris. Tapi kan itu tidak dalam wilayah penegakan hukum. Tapi wilayah menjaga kedaulatan bangsa dan negara.
Seharusnya bagaimana?Nah, kalau TNI mau dilibatÂkan, seharusnya masuk di dalam RUUini. Nanti bagaimana TNI tidak hanya diperbantukan, tapi juga bisa melakukan tindakan kepada teroris yang mengancam negara.
Kemudian masalah yang dibahas ada cyber. Nanti akan melibatkan PPATK, kan banyak yang menggunakan teknologi informasi. Di dalam UUini juga nanti harus diatur.
Apakah hasil pembahasan akan langsung dimasukkan dalam materi RUU?Jadi ini menjadi isu bersama. Dari internal Pansus dan peÂmerintah ini akan dijadikan isu bersama.
Artinya belum pasti diÂmasukkan?Maksudnya, dilihat dari rapat pimpinan dan pansus. Artinya ini akan menjadi isu bersama, dan kita berharap isu ini tidak berubah.
Soal lembaga pengawasan?(Itu) Dalam rangka transparansi program dan audit keuanÂgan.
Posisi lembaganya di mana?Ya, jadi seperti Komisi Kejaksaan, atau seperti Komisi Yudisial. ***