Permohonan terdakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) Muhammad Nazaruddin agar harta atas nama orang lain yang disita bisa dikembalikan ditolak jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Jaksa Kresno Anto Wibowo, sejumlah harta atas nama orang lain merupakan bukti bahwa mantan bendahara umum Partai Demokrat itu melakukan pencucian uang.
"Ini mempertanyakan, memperkuat pembuktian kami bahwa terdakwa punya kepentingan, karena orang-orang itu jadi gatekeeper untuk menyamarkan tindak pidananya," jelasnya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (25/5).
Permohonan pengembalian harta disampaikan Nazar dalam nota pembelaan atau pledoi kepada majelis hakim. Dalam pledoinya, Nazar meminta sebagian harta yang dituntut untuk dirampas oleh negara dapat dikembalikan. Menurutnya, tidak semua harta yang disita KPK berasal dari hasil korupsi dan pencucian uang.
Selain itu, beberapa aset yang disita KPK merupakan aset milik orang lain. Menurut Nazar, akibat penyitaan, pemilik aset melayangkan somasi kepadanya, bahkan juga meminta ganti rugi.
Kepada hakim, Nazar memohon aset-aset tersebut dapat dikembalikan agar tidak menyulitkan dirinya di kemudian hari.
Diketahui, beberapa aset Nazar yang kepemilikannya atas nama orang lain seperti kepemilikan tanah, kepemilikan saham, dan saldo pada beberapa rekening bank. Beberapa aset menggunakan nama istri dan kerabatnya.
"Tolong saya dibantu, jangan sampai setelah perkara ini saya malah dituntut orang, saya bingung nanti. Padahal aset saya sebagian sudah dirampas KPK," ungkap Nazar saat membacakan pledoi.
JPU pada sidang sebelumnya menuntut Nazar dengan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Jaksa juga menuntut agar harta kekayaan Nazaru yang sekitar Rp 600 miliar dirampas untuk negara. Jaksa menilai harta kekayaan Nazar berasal dari tindak pidana pencucian uang berupa aset, saham, dan simpanan bank di luar negeri.
Muhammad Nazaruddin sendiri didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar. Saat menerima gratifikasi, dia masih berstatus sebagai anggota DPR RI.
Politisi Demokrat itu diketahui merupakan pemilik dan pengendali perusahan Anugerah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup. Selain gratifikasi, Nazar juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan. Uang pembelian diduga diperoleh dari hasil korupsi.
Pembelian sejumlah saham dilakukan Nazar melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia menggunakan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup. Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang didanai oleh APBN.
[wah]