Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengÂhangat. Masalah muncul justru ketika diadakan SimpoÂsium mengenai Tragedi 1965 bulan lalu.
Komisioner Komnas HAM Siti Noor Laila menilai, telah terjadi pemelesetan isu. Yang seharusnya rekonsiliasi terhadap kejahatan kemanusiaan, menjadi kesan membela dan membangÂkitkan kembali PKI. "Yang kita perbincangkan itu adalah kejaÂhatan terhadap kemanusiaan, bukan perbincangan terhadap partai. Jadi itu berbeda gitu lho," kata Noor Laila kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Berikut ini wawancara selengkapnya:
Aparat gencar melakukan razia terhadap atribut yang dianggap berbau PKI, tangÂgapan Anda?
Yang pertama adalah yang soal aparatur itu tidak perlu terlalu berlebihan ya. Melakukan penÂegakan hukum tapi tetap memperÂhatikan Hak Asasi Manusia. Tidak perlu lakukan razia terhadap buku, termasuk jangan melakuÂkan penangkapan sepihak.
Bagaimana seharusnya?Ini dari yang saya lihat kan ada beberapa ya. Jadi ada beberapa kategori orang menggunakan atribut. Seperti yang di Ternate itu. Mereka memakai atribut Pecinta Kopi Indonesia ya. Itu sebenarnya ya, bentuk sinisme.
Maksudnya?Bentuk sinisme terhadap fobia-fobia terhadap isu reÂkonsiliasi belakangan ini yang dicanangkan pemerintah.
Lalu?Yang kedua adalah, karena ketidaktahuan. Kan generasi muda kita ini kan banyak yang tidak tahu sejarah PKI. Peristiwa 1948, peristiwa 1965 banyak yang tidak tahu. Misalnya seperti yang disebut oleh seorang anak pejabat, ini lagi ngetren lho. Ngetren model itu kan tidak hanÂya terjadi di Indonesia. Apalagi sekarang ada media sosial yang mudah dijangkau.
Jadi menurut saya, dalam konteks penyelesaian pelangÂgaran HAM berat pasca 65, sesungguhnya bukan persoalan PKI-nya. Itu ada pemelesetan di situ.
Lantas persoalan apa?Yang kita perbincangkan itu adalah kejahatan terhadap keÂmanusiaan, bukan perbincangan terhadap partai. Jadi itu berbeda gitu lho.
Apa bedanya?Pada pasca 65, itu terjadi keÂjahatan terhadap kemanusiaan, apa itu bentuknya? Kan gitu. Ya ada pembunuhan, pemenjaraan tanpa proses hukum, perkosaan yang dilakukan oknum. Jadi itu yang mau direkonsiliasi. Bukan rekonsiliasi PKI dengan pihak lain. Tidak ada hubungannya. Tidak ada urusannya dengan politik. Tidak ada urusannya dengan partai dan ideologi.
Jadi menurut saya, ketika negara mau melakukan rekonÂsiliasi, ada upaya pemlesetan itu, dari kejahatan terhadap kemanusiaan, jadi pembelaan terhadap munculnya PKI baru. Padahal sama sekali nggak ada hubungan sama sekali.
Terkait upaya rekonsiliasi, beberapa pihak mencetuskan diadakan simposium tandÂingan?Jadi begini, jenderal-jenderal yang sekarang mau bikin simpoÂsium itu, mereka kami undang dan mereka tidak mau hadir. Seperti Pak Kiki Syahnakri itu, kami usulkan untuk jadi naraÂsumber.
Apa alasan tidak hadir?Saya tidak tahu, silakan tanya Pak Kiki.
Apa artinya itu?Saya menilai, ada kelompok yang tidak siap rekonsiliasi, kan begitu. Persoalannya, fakta bahwa terjadi kejahatan kemaÂnusiaan pasca 65 kan memang iya. Itu tidak bisa dihindari. Fakta bahwa itu beban sejarah yang terus menerus digugat, itu kan terjadi. Makanya, karena proses hukum belum berjalan dan presiÂden juga dalam RPJMN menyataÂkan akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, baik yudisial dan non yudisial, maka Komnas HAM mendorong untuk rekonsiliasi.
Siapa saja yang harus terÂlibat?Rekonsiliasi antara korban keÂjahatan terhadap kemanusiaan. Nah kemudian, presiden menyaÂtakan menyesalkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan itu. Ini akan menjadi bagian dalam proses perjalanan bangsa Indonesia.
Terkait pembubaran paksa pemutaran film Buru Tanah Air Beta di Yogyakarta awal bulan ini?Jadi begini, kebebasan beÂrekspresi, kebebasan jurnalÂisme, kebebasan menyampaikan pendapat, itu kan hak ya, tidak lagi dibatasi. Reformasi ini kan memperjuangkan demokrasi. Masa sekarang mau kembali lagi ke rezim otoriter? Kan begitu.
Nah jadi justru reformasi dan sistem demokrasi harus terus kita perbaiki. Pembubaran semacam itu tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan prinsip HAM.
Komnas HAM sudah invesÂtigasi?Jadi Komnas HAMkan mendapatkan laporan dari teÂman-teman bahwa ada problem kebebasan berekspresi, bahkan sampai kampus. Ini kan bahaya, sampai kegiatan di kampus diÂbatasi. Padahal kampus ini kan gudangnya intelektual. Ini sudah berlebihan, jadi aparatur silakan melakukan penegakan hukum, tapi harus memperhatikan HAM. Mana bisa kampus intelektualÂnya dibatasi.
Cara menghilangkan ketaÂkutan terhadap kebangkitan PKI?Jadi kebangkitan PKIitu ngÂgak ada-lah. Di internasional saja komunis kan sudah mati. Itu kalau kita bicara ideologi. Itu kan sudah nggak berkemÂbang lagi, lalu kenapa menjadi ketakutan? Gitu lho. ***