Komisi Pemberantasan Korupsi angkat bicara mengenai kunjungan Ketua KPK Agus Rahardjo ke Korea Selatan, beberapa waktu lalu.
Pelaksana harian Kabiro KPK, Yuyuk Andriati menjelaskan, kunjungan Ketua KPK ke Korea Selatan merupakan lawatan kerja dalam rangka penandatanganan nota kesepahaman pertukaran informasi tindak pidana korupsi antara Chairman of the Anti Corruption and Civil Rights Commission (ACCRC) dari Korea Selatan dengan KPK.
Nota kesepahaman tersebut ditandatangai oleh Sung Yung Hoon dari ACCRC dan Agus Rahardjo selaku pimpinan lembaga antirasuah tersebut disaksikan oleh Presiden Joko Widodo serta Presiden Korea Selatan Park Geun-hye, di Cheong Wa Dae, Seoul, Senin (16/5) lalu.
"Memang ada Kunker (kunjungan kerja) Ketua KPK mulai 16 hingga 20 Mei dalam rangka pendandatangan kerja sama antara KPK dengan ACCRC. Kerja sama sudah sejak 2006," ujar Yuyuk dalam konfrensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/5).
Dia menambahkan, beberapa hal yang menjadi rencana kerja dari penandatanganan MoU tersebut menyototi soal perbaikan kapasitasn SDM, IT dan informasi lain. Termasuk juga tentang best practice di sana apakah mungkin dikembangkan di KPK.
Lebih jauh, Yuyuk menegaskan tidak ada kepentingan tertentu mengenai lawatan kerja Presiden ke Korea Selatan dengan pimpinan KPK. Menurut dia, keduanya hanya sama-sama memiliki agenda di Korea Selatan.
"Tidak ada kaitannya dengan presiden. Pimpinan KPK menggunakan pesawat komersil, tidak ikut rombongan presiden. Bertemu di Korea memang benar, karena penandatanganan dilakukan di Istana negara Korea dan disaksikan Presiden Joko Widodo," pungkas Yuyuk.
Tokoh politik nasional, Rachmawati Soekarnoputri sebelumnya menilai kebersamaan Presiden Joko Widodo dan Ketua KPK Agus Rahardjo sangan tidak etis. Rachma juga menilai, tindakan Agus ini menjatuhkan wibawa dan posisi institusi KPK, yang seharusnya independen.
Rachma mengingatkan, KPK bukanlah lembaga subordinat keperesiden. KPK dan Presiden memiliki otoritas sendiri-sendiri. Presiden hanya pembuat kebijakan, dan bukan operasional menangani penyidikan-pemeriksaan dan penangkapan layaknya hukum acara pidana.
Sementara KPK, lanjut Rachma, merupakan lembaga lex specialis yang punya kewenangan memeriksa siapapun, termasuk memeriksa Presiden. Karena itu, bila ternyata seorang presiden terlibat korupsi, dengan cara mau berada dalam romobongan presiden, apakah KPK ke depannya berani bertindak atau tidak.
"Rakyat sudah bosan dengar janji-janji pemberantasan korupsi rezim penguasa," demikian Rachma.
[sam]