. Ingatan publik kembali mengarah ke Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, terkait dengan rencana eksekusi mati tahap ketiga. Pulau Nusakambangan adalah lokasi ekekusi mati tahap pertama dan kedua, terhadap terpidana mati bandar narkoba.
Nama-nama terpidana mati tahap ketiga yang akan dieksekusi pun mulai muncul, antara lain Ozias Sibanda (Zimbabwe), Obina Nwajagu (Nigeria), Zhu Xu Xhiong (Tiongkok), Jian Yu Xin (Tiongkok), dan Freddy Budiman (Indonesia).
Direktur Eksekutif Respublica Political Institute (RPI), Benny Sabdo mengatakan, gerakan menghapus pidana mati sudah menguat sejak abad ke-18. Gerakan itu mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak menusiawi dan tidak efektif.
Alumnus Magister Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia ini menjelaskan bahwa filosofi pemidanaan dapat dimaknai sebagai pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
"Pemidanaan tidak boleh mencederai hak-hak asasi manusia yang paling dasar, serta tidak boleh merendahkan martabat manusia dengan alasan apa pun," kata Benny dalam keterangannya, Rabu (18/5).
Penulis buku
Politik Hukum Pidana Mati yang juga pengajar Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta ini menyebutkan, filosofi itu sejalan dengan UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan, yang menekankan narapidana bukan objek, melainkan subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.
"Yang musti diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana," urai Benny.
Dia memaparkan kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1998 dan tahun 2002 secara konsisten menunjukkan tidak ada korelasi efek jera dengan pidana mati. "Di Amerika Serikat yang masih menerapkan vonis mati, angka kejahatan sadistis tidak menurun. Sebaliknya di Kanada, yang telah menghapus pidana mati, angka kejahatan serupa justru menyusut," ungkapnya.
Kanada adalah satu di antara 88 negara yang sudah menghapus pidana mati. Terdapat 30 negara yang masih mencantumkan pidana mati tapi menghentikan penerapannya. Ada pun Indonesia termasuk dalam 68 negara yang masih menerapkan jenis pidana mati.
Benny menambahkan Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hak asasi manusia, antara lain UU 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, UU 39/1999 tentang HAM, UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
"Karena itu, Indonesia harus konsisten menegakkan hukum hak asasi manusia," tukasnya.
[rus]