Berita

Sudah Saatnya Indonesia Jalankan Sistem Nilai Politik Feminis

KAMIS, 28 APRIL 2016 | 10:16 WIB | LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI

. Sistem nilai politik maskulin yang berporos pada kekuasaan menciptakan kegalauan dan kekacauan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini pun menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang tidak berkarakter, egois, autis, tak terawat, tak terpelihara, tak memiliki rasa peduli dan tumbuh dalam mindset persaingan.

Oleh karenanya, untuk dapat menjadikan Indonesia sebagai Rumah Bersama, adalah penting menggantikan sistem nilai politik maskulin menjadi sistem nilai politik feminis (reproduksi).

Demikian kesimpulan seminar Refleksi Hari Kartini dengan tema Merawat Ibu Bumi Indonesia. Dalam seminar ini hadir sebagai pembicara Ketua Granira Dian Wisdianawati, Sri Sumijati (Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Soegijapranata, Semarang), Umilia Rokhani (Dosen ISI Yogyakarta ) dan  Hastanti Widhy Nugroho  (Dosen Fakultas Filasafat Universitas Gajah Mada, Jogyakarta).


Seminar yang dipandu Fuska Sani Evani (wartawan), diselenggarakan oleh Lembaga Laboratorium Bahasa Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) dan Gerakan Wanita Nusantara (Granita).

Menurut Sri Sumijati, para pemimpin bangsa seharusnya merasa prihatin dengan perilaku mahasiswa saat ini. Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, para mahasiswa dirasa kurang memiliki sopan santun tidak hanya dalam komunikasi tetapi juga berprilaku, bersifat hedonis, menginginkan segala sesuatunya serba instan dan asyik dengan dirinya sendiri.

"Perilaku para mahasiswa sekarang mirip anak autis yang mengedepankan sifat egois dan asyik dengan dirinya sendiri. Tidak ada alat bermain yang diminati para mahasiswa kecuali gadget. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan dunia di luar mereka. Untuk membaca pun mereka sulit sekali. Untuk mengatasi ketimpangan ini, seharusnya bapak dan ibu harus terlibat dalam dunia mereka," ujar Sri Sumijati.

Dian Wisdianawati mengatakan bahwa keterlibatan yang harmoni antara bapak dan ibu pada jaman sekarang sangat sulit dilakukan. Anak-anak jaman sekarang sulit mencari figur ayah atau ibu di dalam rumah mereka. Rumah hanya sekedar tempat istirahat dan bukan sebagai roh dari kehidupan mereka. Hal ini sangat mungkin terjadi karena, peran wanita yang seharusnya sebagai tulang rusuk diganti menjadi tulang punggung keluarga.

"Jika Indonesia adalah sebuah keluarga besar, harus muncul sosok ayah dan ibu dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengalami  keseimbangan kehidupan ketika kita sebagai rakyat Indonesia dapat menunjukkan siapa Ibu Bumi yang memberikan kehidupan dan Bapa Angkasa yang memberikan udara untuk bernafas," ujar Dian Wisdianawati.

Kekacauan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menurut Hastanti Widhy Nugroho terjadi karena Indonesia belum menjadi rumah bersama bagi semua agama, suku, ras, golongan ataupun kelompok.  Hal ini disebabkan karena sistem nilai politik yang digunakan berdasarkan politik maskulin yang melihat politik sebagai alat kekuasaan.  Mindset politik sebagai alat kekuasaan inilah yang kemudian memicu persaingan.

"Seharusnya sistem nilai politik yang digunakan adalah sistem politik feminim (reproduksi). Sistem reproduksi manusia terjadi ketika seorang gadis mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan membesarkan anak. Dan masing-masing tahapan itulah yang menunjukkan bahwa sejarah kehidupan manusia itu dimulai dari wanita," ujar Hastanti Widhy Nugroho.

Menurut Widhy, hidup matinya sebuah generasi bangsa sangat tergantung dari eksistensi para wanitanya. Sistem reproduksi itulah yang merupakan perbedaan kodrati antara pria dan wanita. Sehingga sistem reproduksi itu mempngaruhi cara berpikir dan bertindak ala wanita” tentang bagaimana sakitnya haid, melahirkan, membesarkan anak dan lain-lain.

Hal yang senada juga diuraikan oleh Umilia Rokhani yang mengatakan bahwa ibu itu merupakan madrasah pertama jika boleh diibaratkan. Dan, tugas ibu secara kodrat tidak bisa digantikan oleh pria. Pola berpikir ibu atau wanita itu sangat berbeda sehingga substansinya harus dimengerti. Menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama hanya bisa terwujud ketika peran kaum wanita sebagai kodrat muncul dalam karakter dan sistem politik. [ysa]

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya