Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tindak Pidana Terorisme ditunda. Hasil auÂtopsi terhadap jasad terduga teroris asal Klaten, Siyono menÂjadi salah satu alasan untuk penundaan.
Berikut ini penjelasan Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin;
Komnas HAM, Muhammadiyah dan Kontras memÂinta penundaan pembahasan revisi terhadap Undang-Undang Terorisme, benar begitu?
Kemarin di DPRitu, berkemÂbang diskusi dan muncul dari berbagai kalangan yang mengÂinginkan hal tersebut.
Kemarin di DPRitu, berkemÂbang diskusi dan muncul dari berbagai kalangan yang mengÂinginkan hal tersebut.
Kenapa harus ditunda?Adanya penyelesaian kasus Siyono dulu, baru kemudian diadakan pembahasan. Dari situ baru dijadikan dasar dan masuÂkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme.
Tapi bukankah sudah banÂyak pertimbangan sebelum melakukan revisi...Ya, tapi Undang-Undang Terorisme ini kan harus diperkaya dengan banyak masukan dari berbagai kalangan. Jadi itu hasil diskusi dari teman-teman Muhammadiyah, Kontras dan kami (Komnas HAM).
Jadi dasar penundaannya hanya dari kasus Siyono...Tidak juga, tapi masukan dari kasus Siyono ini kan bisa jadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Sekarang ini kan masih berlangsung ya, jadi biar ini menjadi masukan.
Sikap Anda dan teman-teman agaknya tidak sejalan dengn DPR yang baru saja membentuk Pansus revisi Undang-Undang Terorisme...Ya nggak apa-apa. Dalam proses ini kan DPRmemerluÂkan masukan, ada dialog, ada kajian komparatif dengan negÂara-negara yang relatif sebandÂing dengan kita. Jadi ya kalau ada masukan-masukan dari negara lain yang lebih maju dalam permasalahan terorisme yang perlu kita petik bersama. Tapi di pihak lain, kita juga kan punya pengalaman panÂjang, sejak bom Bali sampai terakhir di Thamrin kan banyak pengalaman kita menangani terorisme, dan semuanya bisa menjadi input.
Aksi teror di Tanah Air kecenderungannya makin meningkat, bukankah dengan begitu kita justru harusseceÂpatnya punya aturan antiteror yang baru?Ya, kita perlu. Kan Undang-Undang Terorisme ini harus memberi perhatian yang amat baik pada keseimbangan-keÂseimbangan perlawanan terÂhadap terorisme. Tapi, di sisi lain harus ada demokratisasi masalah HAM, dan itu tidak boleh berjalan terpisah. Tidak boleh kita melakukan pemÂberantasan terorisme tanpa memperhatikan koridor hukum. Dengan ini, keseimbangan inilah yang diperlukan dalam proses revisi Undang-Undang Terorisme ini.
Kasus Siyono mendapat perhatian besar. Sepanjang pengamatan Komnas HAM, ada berapa kasus yang mirip seperti yang dialami Siyono?Ada 120 yang lain. Dengan Siyono ini kasus yang ke 121. Diduga, proses hukumnya tidak jelas, tidak adil, tidak akuntaÂbel. Jadi dengan itu kita amat menyayangkan.
Artinya kasus terorisme jusÂtru banyak berakhir dengan kekerasan oleh aparat?Itu yang amat kita sayangkan. Kita menyayangkan standar operasional pada kebijakan hukum yang berlaku. Dengan itu, kalau ini dijadikan pelajaran berharga, ya mudah-mudahan tidak terulang lagi.
Aparat punya prosedur tetap, tapi pelanggaran diduga masih sering terjadi, apa yang salah?Oknum ya. Tapi yang perlu diingat, oknum ini tidak boleh kebal hukum. Jadi, harus ada keseimbangan penanganan terÂorisme dan penegakan hukum dan menghormati pihak lain.
Jadi langkah terbaik harus dilakukan aparat untuk penÂanganan kasus terorisme baÂgaimana?Jadi ya diperkaya saja dulu prosesnya. Kan nanti ada masukan-masukan yang lebih komÂprehensif dari berbagai pihak. Yang perlu dilihat lagi, salah satu yang dikeluhkan di Komisi III DPR kemarin, ada stigma Islam dipojokkan di sini. Seakan-akan masalah ini hanya milik kelompok ini. Ajaran Islam kan damai, toleran, sehingga jangan ada kesan Islamophobia. Jangan terbawa romantisme agama, karena tidak ada agama yang mengajarkan terorisme. ***