Pasca putusan Pengadilan Negeri Bengkulu yang memÂbatalkan Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SKP2) yang membelit Novel Baswedan, Jaksa Pras mewacanaÂkan akan menerbitkan deponering alias pengesampinÂgan perkara yang membelit penyidik KPK tersebut.
Selain itu, Jaksa Pras juga memberikan perhatian khusus terhadap putusan hakim praperaÂdilan yang mewanti-wanti meÂmerintahkan kepada Kejaksaan agar secepatnya kembali meÂlimpahkan berkas perkara Novel ke pengadilan.
Lantas seberapa serius Jaksa Pras merealisasikan kewenanÂgannya untuk menerbitkan deÂponering atas kasus Novel, berikut ini penjelasannya kepada Rakyat Merdeka;
Tim Kuasa Hukum Novel Baswedan berharap betul Anda mengambil langkah deponering terhadap kliennya. Anda serius akan mengambil langkah hukum itu?He-he-he... Nanti kita lihat seperti apa lah ya. Kita akan lihat.
Lalu bagaimana Anda meÂnyikapi putusan praperaÂdilan terhadap SKPP yang sudah Anda terbitkan sebeÂlumnya?Makanya kan justru saya katakan, praperadilan sudah dilayangkan oleh pihak lain, yang menyatakan dirinya kuasa hukum korban. Ternyata pengaÂdilan mengabulkan praperadilan. Kita pelajari dulu.
Sudah terima salinan putuÂsannya?Sampai sekarang putusannya belum kami terima. Kita pelajari dulu. Diktum (amar putusan) seperti apa, analisa yuridisnya seperti apa, melihat perkembanÂgan hukumnya seperti apa. Nanti kita lihat.
Apa ada yang salah daÂlam keputusan menerbitkan SKP2?
Kita berkeyakinan bahwa itu memang buktinya kurang. Didalami lagi, ternyata buktinya masih kurang.
Jadi?Kita masih bisa mengambil sikap nanti apakah kita mengaÂjukan permintaan putusan akhir dari pengadilan tinggi atau apa.
Ada yang mengatakan, Jaksa bisa saja menuntut beÂbas. Benar demikian?Ya saya katakan, jaksa itu poÂsisinya subjektif tapi pandanganÂnya harus objektif kan. Subjektif dalam artian gini, jaksa itu meÂwakili kepentingan masyarakat, kepentingan negara. Ya kan. Tapi ketika sudah di persidangan, di mana kita berbicara mengenai bukti-bukti kita harus berpandanÂgan bahwa pandangan kita harus objektif. Bahwa benar ya benar, kalau salah ya salah, gitu.
Maksudnya?Karena posisinya kan jaksa itu subjektif, sudut pandangnya harus objektif. Kalau pengacara, posisinya subjektif, sudut pandangnya subjektif. Kan gitu. Kalau hakim diharapkan, posisÂinya objektif, sudut pandangÂnya juga objektif. Kalau jaksa berpihak kepada kepentingan masyarakat. Tetapi ketika dihÂadapkan dengan bukti-bukti dan fakta yang ada, sudut pandangÂnya harus objektif. Nggak perlu subjektif.
Jika demikian, bagaimaÂna dengan konsistensi sikap jaksa?Makanya kita lihat dulu baÂgaimana, diktumnya seperti apa, terus kemudian uraian yuridisÂnya seperti apa, kita lihat nanti.
Dalam putusan hakim, diberitakan ada perintah meÂnyerahkan kembali dakwaan dalam waktu tiga hari?Itu nggak ada dasar hukum haÂkim memberikan batasan waktu seperti itu. Jadi kan kelihatan, menyolok betul. Kenapa, nggak ada itu. Suruh baca di hukum acara, ada nggak.
Bukankah memang ada pembatasan-pembatasan wakÂtu seperti itu?Yang dibatasi itu pra penuntuÂtan, dibatasi 14 hari. Penahanan dibatasi 30 hari, 40 hari. Itu saja yang dibatasi. Pernyataan untuk upaya hukum dibatasi tujuh hari, kalau kasasi itu 14 hari. Itu ada. Tapi kalau pernyataan soal perkara yang itu nggak ada, sanksinya apa kalau itu... He-he-he.
Saya pikir semua pihak harus memahami itu. Dan juga harus memahami asas dominus litis (asas keaktifan hakim) yang bisa, yang punya kewenangan atau untuk melimpahkan perkara ke pengadilan itu hanya jaksa. Bukan pihak lain. Mungkin ini terlalu... Dosisnya terlalu berÂlebih lah... He-he-he. Nggak ada dasarnya lah itu. ***