PERANG lewat sosial media antara dua Presiden RI Joko Widodo (Presiden ke-7) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke-6) berhasil ditangkap oleh saluran televisi TVOne.
Di saat hampir semua media sibuk melaporkan berita-berita lainnya yang bersifat umum, stasiun televisi milik Aburizal Bakrie ini secara khusus menyorot perseteruan Jokowi-SBY.
Tentu saja keputusan TVOne menyoroti perang urat syaraf (psy-war) antara dua "raja jawa" ini cukup menarik. Sebab yang menjadi sorotan adalah keadaan Indonesia dalam perspektif politik dan perekonomian.
Sejauh ini masyarakat hanya membaca secara sepenggal kicauan SBY atau tayangan khusus yang disiarkan oleh Dinasti Cikeas melalui YouTube. Isinya berupa sorotan atau kritikan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi.
Kicauan SBY itu sejuah ini hanya dilihat sebagai sebuah kebiasannya. Kicauan itu untuk mengisi hari-harinya yang kosong setelah tak lagi berkuasa. Ataupun video YouTube itu bagian dari pelaporan SBY kepada masyarakat Indonesia bahwa dia dengan keluarga besarnya masih sangat peduli pada Indonesia.
SBY, layaknya masih seperti ketika menjadi orang nomor satu di republik ini, sekalipun sehari-hari tidak lagi bekerja di Istana.
Tidak ada lagi media yang tertarik menjadikan kicau SBY sebagai sebuah berita berskala penting.
Juga tidak ada yang berani menafsirkan bahwa postingan SBY melalui media sosial itu merupakan sindiran politik dari seorang mantan Preisden kepada Presiden yang sedang berkuasa.
Hanya Newsroom TVOne rupanya melihat kunjungan mendadak Presiden Jokowi ke desa Hambalang, Bogor, Jawa Barat sebagai bukan sekedar sebuah blusukan. Melainkan sebagai bagian dari upaya menegur Presiden SBY secara halus.
Jokowi ingin menyegarkan ingatan bangsa Indonesia. Bahwa di Hambalang ada mega proyek yang gagal dan kegagalan itu dilakukan oleh atau terjadi di era Presiden SBY.
Disebut mega proyek sebab dana yang dihabiskan oleh rezim SBY di sana mencapai triliunan rupiah. Dan apa sehat, dana yang demikian besar sudah habis tapi proyek tidak sempat terwujud bentuknya.
Suasana yang mencerminkan kegagalan Presiden SBY diaktualisasikan melalui rekaman video atas berbagai sudut dari mega proyek di Desa Hambalang.
Bangunan yang setengah jadi yang sudah berbentuk seperti lokasi yang dirusak oleh bom peperangan, dipertontonkan di layar televisi.
Reporter TVOne dari lokasi proyek, melaporkan bahwa media-media yang menyertai Presiden Jokowi dilarang mengambil gambar. Tetapi di sisi lain saat si reporter sedang "on screen", di latar belakangnya sebuah rekaman video tentang Hambalang yang berbentuk semacam reruntuhan terus diputar berulang-ulang.
Sehingga penonton yang menyaksikan tayangan itu menjadi agak bingung. Mana yang benar, ada larangan atau ada dorongan?
Tetapi yang pasti laporan itu sedikit banyaknya membangkitkan kekesalan terhadap Presiden SBY. Sebab ternyata SBY yang selama ini senang memuji-muji prestasinya sendiri, memiliki cacat yang tak terbantahkan.
Cacat SBY sebagai pemimpin, semakin mengental ketika dua nara sumber pada Senin pagi 21 Maret 2016 itu ikut bicara.
Yang satu (saya lupa namanya), tapi diperkenalkan sebagai Wakil Ketua Umum DPP Projo (Pro Jokowi) dan Mohamad Qodari, CEO dari lembaga survei Indobarometer.
Dua nara sumber sepertinya pembela sejati Presiden Jokowi.
Tokoh Projo langsung menunjuk Hambalang sebagai proyek yang telah menyebabkan sejumlah kader atau anak buah SBY di Partai Demokrat, meringkuk dalam penjara.
Sementara Qodari mengingatkan posisi SBY sebagai Ketua Umum sebuah partai politik yang berada di luar pemerintahan. Dengan posisi itu apapun yang dilakukan SBY tetap punya makna dan implikasi politik.
Poryek Hambalang itu sendiri digagas oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk menjadi semacam "Pusat Segala Bentuk Kegiatan Olahraga dan Olahragawa". Selain menjadi perkampungan atlit, di dalamnya tersedia berbagai fasilitas latihan dari berbagai macam olahraga yang dipertandingkan di medan Olimpiade.
Kalau dari segi gagasan, konsep itu tergolong brilian dan cemerlang.
Sayangnya, yang terjadi, tidak demikian. Biaya proyek membengkak. Terjadi penyalahgunaan dana pemerintah.
Mula-mula anggarannya kurang dari lima ratus miliar rupiah. Tapi kemudian membengkak di atas satu triliunan rupiah. Alasan yang dikemukan oleh para pejabat yang bertanggung jawab atas proyek itu seperti Menpora Andi Mallarangeng dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo karena pembiayaan menggunakan sistem "multi years".
Sebuah istilah baru - dicoba dijadikan alasan kuat sekalipun sebetulnya hal itu merupakan cara lain menutupi besaran angka, jika dikeluarkan sekaligus.
Tapi apapun alasannya, Projo tetap melempar kesalahan itu kepada SBY baik sebagai Presiden maupun selaku Ketua Umum Partai Demokrat.
Perbincangan soal Hambalang sempat menghangat, manakalah Syarif Hasan yang merupakan Ketua Harian Partai Demokrat atau orang kedua setelah SBY, diminta mengomentari blusukan Presiden Jokowi ke Hambalang pada Minggu 20 Maret 2016.
Sebab yang ditanya soal kegagalan proyek Hambalang tapi jawabannya soal temuan SBY dalam "Tour de Java". Menuru bekas Menteri Koperasi dan UKM itu, dalam tour itu berbagai keluhan atas kegagalan pemerintahan Presiden Jokowi, disampaikan oleh masyarakat kepada SBY.
Presenter beberapa kali memotong jawaban atau komentar Syarif Hasan, karena terkesan dia sedang tidak menjawab pertanyaan, tapi berusaha melemparkan isu lainnya.
Bahkan Syarif Hasan sempat penyimpang jauh dan seperti memang sengaja membelokkan isu yang sedang dibahas oleh TVOne.
Bahkan suami pesinetron Inggrit Kansil itu beberapa kali menyindir pemerintahan Jokowi dengan kata-kata, "semoga bisa selamat menyelesaikan tugas hingga 2019". Karena diucapkan berulang-ulang sepertinya Syari Hasan ingin menegaskan bahwa dalam penilaiannya, pemerintahan Jokowi tak mampu bertahan hingga 2019.
Agak letih juga mengikuti perbincangan di Senin pagi tersebut. Sebab perbincangan itu tidak bisa fokus secara murni pada apa yang dijanjikan oleh pembawa acara.
Lagi pula ujung-ujungnya yang diperdebatkan adalah siapa sesungguhnya pihak yang benar dan siapa yang salah. Sementara kita semua tahu, sebagai politisi, Jokowi dan SBY, kedua-duanya tidak mungkin mau mengaku salah.
Artinya tidak mungkin SBY menerima kritikan yang bernada menyalahkan dirinya sebagai Presiden Indonesia selama 10 tahun.
Begitu juga Jokowi. Mana mau dia disalahkan atas terjadinya kebobrokan ekonomi, pembangunan, apalagi banyak di antara kebobrokan itu sebagai peninggalan rezim (SBY) sebelumnya.
Kendati demikian kita patut berterima kasih atas kejelian TVOne dalam mengupas masalah perseteruan Jokowi - SBY. Setidaknya kali ini cukup jelas terlihat media milik politisi Golkar itu berusaha keras memperlihkatan independensinya.
Bahwasanya ada kesan TVOne memberi angin lebih kencang ke Jokowi, tak terhindarkan atau terjadi secara spontanitas.
Tentu saja kita berharap diangkatnya perseteruan dua tokoh nasional ini - secara terbuka, bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak. Kalau jadi pemimpin, berbicaralah hal-hal yang patut dan bermanfaat bagi rakyat.
Kita juga perlu bersikap jujur. Bahwa sebenarnya yang menjadi budaya kita adalah kita tidak siap menerima kritikan.
Omong kosong kalau ada pejabat apalagi tokoh kaliber Presiden bisa satu penafsiran antara kata dan tindakan. Bahwa mereka senang menerima kritikan, apapun bentuknya.
Lain di mulut, lain hati dan beda dalam perilaku, itulah sebetulnya yang orisinil.
Ucapan siap menerima kritikan itu sebetulnya hanya basa-basi. Dan ini cukup jelas terlihat dari kasus perang urat syaraf antara SBY dan Jokowi.
Jokowi tidak membalas kritikan SBY dalam bentuk kicauan di media sosial. Tetapi dengan mengunjungi Hambalang sebagai sebuah mega proyek yang gagal, itu sudah menunjukkan ketidaksukaannya atas segala kritik atau kicauan SBY selama ini.
Dan respon Jokowi dalam memaparkan Hambalang baru satu bentuk parsial. Bukan mustahil kalau SBY masih terus dengan kicauannya, Jokowi bakal menagih tanggung jawab SBY pada apa yang dikenal dengan Mega Skandal Bank Century.
Dalam skandal ini, uang negara yang ditelan bumi, hilang tak berbekas sebesar Rp. 6,7 triliun.
Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Pak Beye istirahat dulu mengirim kicauan. Beri kesempatan pada bekas Walikota Solo ini untuk membuktikan bahwa dia memang pantas dan ataupun tidak pantas jadi Presiden RI. Kritik itu kan tidak harus bicara.
Cobalah dulu Pak Beye menahan nafsu untuk menunjukkan kesalahan dan kelemahan Pak Jokowi. Kalaupun tak bisa menahan nafsu, coba salurkan nafsu itu melalui cara lain. Mungkin melalui lagu.
Negara ini perlu manusia kreatif yang bisa menciptakan lagu dan musik yang enak dinikmati. Bukan kreatifitas yang menciptakan apalagi memproduksi arogansi.
[***]Penulis adalah jurnalis senior.