Berita

Perlukah RI Bersahabat Dengan Israel?

MINGGU, 13 MARET 2016 | 20:34 WIB | OLEH: DEREK MANANGKA

STIGMA bahwa Israel itu negeri Kristen yang merampok tanah bangsa Palestina yang beragama Islam, sudah terlanjur melekat. Atas dasar itulah mayoritas umat Islam di Indonesia memusuhi dan membenci Israel.

Dampaknya, terdapat stigmanisasi terhadap umat Kristen, di Indonesia maupun dunia internasional.

Padahal umat Israel sebagai pemeluk agama Yahudi dikenal sebagai bangsa yang membunuh (menyalib) Yesus Kristus.

Bagi agama Yahudi, Yesus Kristus sebagai Mesias atau Juru Selamat umat Kristen, tidak mereka akui. Dan Yesus dibunuh atau disalib oleh Yahudi atas dasar perbedaan itu.

Demikian halnya dengan Palestina. Warga Palestina itu tidak hanya terdiri atas mereka yang memeluk agama Islam. Tetapi juga ada yang beragama Kristen.

Bahwa jumlah umat Kristianinya minoritas, benar sekali. Dan Palestina itu lebih diidentikkan sebagai bangsa Arab dan Arab dikenal sebagai bangsa besar di dunia yang umatnya rata-rata memeluk Islam, itu juga benar sekali.

Tetapi yang kurang dicatat, sekalipun Palestina bagian dari bangsa Arab, kenyataannya bangsa-bangsa Arab seperti tidak peduli atas nasib dan perjuangan Palestina. Bahkan realita yang ada, bangsa Arab yang kaya raya berusaha menghindar untuk didatangi pengungsi Palestina yang terusir oleh Israel.

Arab yang bertetangga dekat dengan Palestina seolah membuat jarak yang jauh dengan bangsa terjajah dan terzolimi ini. Negara-negara Islam pun sikapnya hampir sama bangsa-bangsa Arab.

Mungkin hanya Indonesia satu-satunya negara yang jauh dari Palestina, tetapi kepeduliannya mengalahkan bangsa-bangsa Arab dan dunia Islam secara keseluruhan. Semua ini terjadi karena mispersepsi.

Selain salah persepsi juga terjadi politisasi serta pembelokan isu. Ironisnya isu konflik Palestina-Israel sering menjadi isu musiman. Ada saatnya didiamkan, tapi ada waktunya dikapitalisasi. Faktanya, tidak banyak pihak yang mau berbicara jujur tentang Palestina.

Misalnya peranan besar dari para tokoh Kristen dalam rangka mendirikan negara Palestina merdeka, bebas dari pendudukan Israel.

Di antara mereka tersebutlah nama yang cukup dikenal dunia seperti George Habash dan Hasnan Ashrawi.

George Habash (almarhum) dikenal sebagai salah seorang pendiri PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) bersama Yasser Arafat.

George Habash juga orang Palestina yang mendirikan Arab Nationalist Movement. Semasa masih hidup, George Habash dikenal sebagai salah seorang tokoh Palestina yang terus mendampingi Yasser Arafat (almarhum) kemanapun yang terakhir ini pergi.

Sementara politisi sekaligus akademisi wanita Hanan Ashrawi merupakan mantan jurubicara Ketua PLO, Yasser Arfat. Masih ada kaitan dengan soal agama. Yasser Arafat sendiri ketika mengakhiri masa lajangnya, menikahi Suha Daoud Tawil, wanita pemeluk Katolik. Kakak ipar Suha, Ibrahim Souss, merupakan Duta Besar Palestina untuk Prancis.

Tetapi semua fakta di atas itu seolah dinisbikan demi sebuah pembenaran atas persepsi yang keliru.

Selain itu terdapat sejumlah tokoh Kristen Palestina yang peran mereka di dalam usaha mendirikan Negara Palestina Merdeka, tidak sedikit. Hanya saja nama-nama mereka tidak terkenal di Indonesia.

Seperti Victor Bataresh, Elias Bandak, Hanna Nasser dan Elias Freij, yang semua mereka pernah menjadi Walikota Betlehem. Kota Betlehem, berdekatan dengan Ramallah, ibukota Palestina.

Pengindentifikasian Israel sebagai sebuah negara Kristen nampaknya terjadi karena ada kesengajaan. Mencampur adukan masalah yang tidak sama, seolah berkaitan sehingga muncul sebuah pembenaran.

Negara Yahudi ini -dalam menghadapi Palestina sangat dibela oleh Amerika Serikat. Sementara negara raksasa ini diidentikkan sebagai negara Kristen. Muncul persepsi Amerika Serikat membela Israel karena yang dibela faktor Kristen yang ada dalam anatomi Israel tersebut.

Tidak banyak pengamat yang mencoba melihat apa penyebab dan latar belakangnya apalagi menganalisanya. Sehingga yang terpelihara secara berkelanjutan, sebuah mispersepsi.

Perjuangan memerdekakan Palestina menjadi rumit. Karena Yasser Arafat yang berkarisma, tidak ada penggantinya. Akibatnya setelah Yasser Arafat meninggal di tahun 2004, Palestina kehilangan tokoh pemersatu.

Kepergian Yasser Arafat untuk selama-lamanya berakibat terjadinya perpecahan dalam Palestina. Yaitu Palestina Hamas yang tidak mau berunding dengan Israel dan Palestina Al-Fatah yang mau berunding dengan Israel.

Perpecahan dua kubu ini menguat di tahun 2006, setelah Palestina menggelar Pemilu. Dalam Pemilu tersebut Hamas menang. Pemerintahan Palestina yang tadinya didominasi oleh fraksi Al-Fatah, beralih ke tangan Hamas.

Di tangan Perdana Menteri Ismail Haniyeh, konflik dengan Israel makin memanas. Ibukota Palestina pun berpindah. Dari Ramallah ke Gaza.

Konflik memanas, perpecahan dan perpindahan kekuasaan serta ibukota ini, tidak pernah dijelaskan secara menyeluruh oleh otoritas yang menangani politik luar negeri Indonesia.

Berbagai LSM yang tidak paham tentang akar permasalahan sebenarnya, menggalang bantuan untuk Palestina. Tidak pernah terpikir bantuan mendamaikan sesama bangsa Palestina itu jauh lebih penting ketimbang bantuan keuangan atau obat-obatan.

Mispersepsi tentang konflik Israel-Palestina terus berlanjut. Dalam suasana dan potret konflik Palestina-Israel seperti itulah pemerintah mencoba mengerjakan permintaan KTT OKI sekaligus melaksanakan pesan para "founding fathers" agar Indonesia ikut menciptakan perdamaian dunia.

Oleh sebab itu muncul pertanyaan; bagaimana seharusnya Indonesia merespon semua permintaan itu?

Mengutamakan perdamaian Palestina Hamas dan Palestina Al-Fatah atau melakukannya sembari membuka dialog atau hubungan dengan Israel? Membuka hubungan itu tidak berarti secara diplomatik. Tetapi merupakan sebuah kemustahilan bila Indonesia diminta membantu memerdekakan Palestina dari Israel, sementara dialog dengan Israel dilarang atau tidak dilakukan sama sekali.

Yang pasti perlunya Indonesia membuka hubungan dengan Israel, tidak semata-mata karena alasan obyektifitas tadi. Melainkan mengacu pada fakta dan realita kehidupan sehari-hari.

Yaitu pihak Palestina sendiri yang berperang langsung dengan Israel, toh tetap bisa melakukan kontak langsung dengan rakyat maupun otoritas negara Yahudi tersebut. Lalu mengapa Indonesia yang tidak pernah berperang dengan Yahudi tidak boleh berhubungan dengan bangsa tersebut?

Dalam tulisan sebelumnya tahun lalu, berupa serial catatan dari kunjungan ke Israel di tahun 1993, saya ungkapkan fakta yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang di tanah air.

Yaitu terdapat sekitar 20 ribu pekerja Palestina yang setiap hari masuk keluar Israel. Mereka bekerja di berbagai perusahaan Israel yang tersebar di berbagai kota negara Yahudi tersebut. Sebagai pekerja, mereka mendapatkan kartu tanda pengenal dari Israel dan untuk masuk kerja, mereka harus melewati pintu gerbang yang dijaga oleh petugas Israel.

Moral dari pengungkapan atas fakta ini adalah kalau Palestina-Israel yang saling bermusuhan, tidak punya hubungan diplomatik masih bisa "bekerja sama", lalu mengapa Indonesia tidak boleh ?

Yang pasti fakta itu menunjukkan, pihak Palestina dan Israel sama-sama berpikir realistis. Palestina membutuhkan pekerjaan untuk menopang kehidupan sehari-hari. Dan pihak yang bisa menyediakan pekerjaan hanya perusahaan yang berada di wilayah Israel saja.

Demikian halnya dengan perusahaan atau pengusaha Israel. Di dalam negerinya, tidak tersedia tenaga kerja yang cukup.
Kedua pihak saling membutuhkan satu sama lain.

Kepercayaan Palestina dan Israel terhadap Indonesia untuk menjadi mediator, sebetulnya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Bahkan kalau tidak keliru, tak satupun pihak atau negara di dunia ini yang memperoleh kepercayaan dari Palestina dan Israel yang datangnya hampir bersamaan.

Yang sering terjadi, ketika satu negara dipercaya Palestina, pasti akan ditolak atau dimusuhi Israel. Demikian sebaliknya.

Awal Maret baru lalu Indonesia diminta anggota-anggota Organisasi Konperensi Islam (OKI) untuk menggelar KTT Luar Biasa, setelah Maroko yang seharusnya menjadi tuan rumah menyatakan tidak sanggup. Dan agenda utamanya adalah membahas bagaimana memerdekakan Palestina dari pendudukan Israel.

Sementara pihak Israel, sedikitnya sudah dua kali meminta jasa baik Indonesia. Pertama pada Jumat 16 Oktober 1992 dan kedua pada Oktober 1995. Dua permintaan itu diajukan langsung oleh Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin kepada Presiden Soeharto.

Permintaan pertama dilalukan Rabin dengan menemui langsung Soeharto di Jl. Cendana, Jakarta, dalam kapasitas Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok. Yang kedua, di Hotel Waldorf, New York, AS, saat keduanya menghadiri peringatan hari jadi ke-50 PBB.

Kedua inisiatif Rabin berakhir tanpa hasil. Sebab tak sampai setahun dia bertemu dengan Soeharto di New York, seorang fundamentalis Yahudi membunuhnya di Tel Aviv, Israel.

Pembunuh Rabin tidak suka dengan berbagai langkah pendekatan Perdana Menteri Israel itu ke arah rekonsialiasi Israel - Palestina.

Sementara itu inisiatif anggota OKI juga kelihatannya bakal bernasib sama dengan inisiatif Rabin.

Sebab setiap rezim di Indonesia sejak zaman Soeharto, khawatir akan adanya kemarahan yang besar dan tak terbatas oleh komunitas Islam, bila Indonesia berhubungan dengan Israel.

Kembali pemerintah ditantang membuat pilihan. Kalau memang mau berperan dalam sejarah perdamaian dunia, kini saatnya Indonesia membuat terobosan.

Buka dialog dengan Israel. Atau kalau tidak, lupakan segala jargon yang ingin menjadi juru damai dalam konflik tertua di wilayah Timur Tengah itu.[***]

Penulis adalah jurnalis senior.


Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

Pangkas Anggaran Kementerian, Prabowo Lebih Peduli Rakyat Kecil

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:30

Bursa Asia Menguat di Selasa Pagi

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:22

Guncangan Politik Rumania, Presiden Klaus Iohannis Pilih Mundur

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:19

Butuh 15 Regulasi Kewenangan Khusus Pasca Status Berubah Jadi DKJ

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:17

Jokowi Harusnya Tak Olok-olok SBY soal Hambalang

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:14

Kebijakan Trump Bikin Dolar AS Menguat di Selasa Pagi

Selasa, 11 Februari 2025 | 09:05

Bursa Eropa Sumringah, Indeks Utama Kompak Naik

Selasa, 11 Februari 2025 | 08:42

Menuju Bahaya Oligarki

Selasa, 11 Februari 2025 | 08:29

Saham-saham Teknologi Melonjak, Bursa AS Ditutup Menghijau

Selasa, 11 Februari 2025 | 08:18

Mbak Ita dan Suaminya Dikabarkan Kembali Diperiksa Hari Ini

Selasa, 11 Februari 2025 | 08:10

Selengkapnya