Sindikat perdagangan organ tubuh manusia ternyata belum lenyap dari dunia kedokteran Tanah Air. Belum lama ini, pihak Kepolisian membongkar praktik jual beli organ tubuh di daerah Bandung, Jawa Barat. Dari kasus tersebut diduga kuat meliÂbatkan pihak rumah sakit selaku tempat terjadinya operasi transplantasi orÂgan tubuh.
Kasus perdagangan organ manusia ini melanggar UU 21/ 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Bahkan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, penÂjualan organ tubuh sama halnya dengan penjualan orang.
Apakah pengawasan yang dilakukan rumah sakit sangat lemah sehingga praktik tersebut masih kerap terjadi? Bagaimana pula mekanisme seseorang yang ingin melakukan donor organ tubuh? Berikut wawancara lengkap Rakyat Merdeka denÂgan Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih:
Apa yang melatar belakangi praktik perdagangan organ ini kerap terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air? Sebenarnya jual-beli organ itu masuk dalam kategori kriminal murni. Tapi kalau ditanya laÂtar belakangnya, mungkin ada pengaruhnya dengan masalah ekonomi. Masyarakat yang beÂrada dalam kemiskinan mudah digoda oleh sindikat yang ingin mencari untung dari praktik perÂdagangan organ tubuh ini.
Dalam kasus ini, kuat dugÂaan ada kongkalikong antara rumah sakit dengan sindikat. Apa benar? Ya, disinyalir memang begitu. Karena sebenarnya ini kan sudah lama terjadi ya. Lalu setelah itu dibuatlah PP 18 tahun 1981. Sebenarnya itu adalah harapan untuk dapat mengurangi prakÂtik-praktik seperti itu. Tetapi, dengan kejadian seperti ini, kita sadar bahwa seharusnya jangan membuat peraturan-peraturan yang sifatnya umum atau global seperti itu. Harus ada peraturan yang lebih rinci.
Berarti peraturan yang ada perlu diubah?Yang membuat peraturan, harus membuat aturan yang lebih detil lagi. Dalam hal ini pemerintah yang membuat reguÂlasi. Dengan terjadinya hal seperti ini, memang harus ada yang dibenahi.
Apa saran Anda?Seperti siapa yang mengaÂwasi. Ini yang perlu diatur lebih lanjut, karena aturan dalam PP 18 tahun 1981 dan Permenkes 37 tahun 2014, itu kan tidak diÂjelaskan siapa yang mengawasi secara lebih spesifik.
Tidak dijelaskan secara rinci begitu.
Bukankah sudah ada Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS)?Saya kira BPRS kan baru efekÂtif, baru sekitar 3-4 tahun kan.
Anda menilai peran pengaÂwasan yang dilakukan BPRS kurang efektif?Artinya, BPRS ini kan masih membenahi struktur dan meÂkanisme kerja. Ke depan, kaÂlau hal-hal seperti ini akan di-insert ke dalam BPRS, itu merupakan langkah yang sangat konstruktif.
Soalnya, sebelumnya dalam aturan, tidak dijelaskan siapa yang mengawasi hal-hal sepÂerti ini, kan begitu. Jadi kalau dimasukkan ke dalam salah satu tugas BPRS, sangat konÂstruktif.
Sebenarnya, apa saja syarat mendonorkan organ tubuh?Ya, yang pertama donor itu harus setuju dan sukarela.
Apakah ada ukuran untuk mengetahui pendonor sukarÂela atau tidak?Jadi bisa kita lihat, kalau di ilmu kedokteran itu ada istiÂlah informed consent, atau tanda persetujuan tindakan medis. Jadi ada bukti informed consent itu. Di situ dijelaskan dulu ke pasiennya itu, kalau misalnya dilakukan ini, risikonya akan seperti ini. Itu dijelaskan semua. Nah kalau sudah oke semuanya, barulah dilakukan tindakan.
Tetapi, meski sudah oke, pakai skala pemeriksaan. Contoh, apakah kalau diambil salah satu ginjalnya berpotensi nggak baÂgus sama pasiennya. Kemudian, diperiksa lagi apakah ginjal yang mau diambil itu cocok dengan yang menerima. Makanya keÂmudian, pendonor itu yang diÂcari memang yang paling dekat hubungannya dengan pasien.
Salah satu korban mengaku diajari berbohong oleh pelaku perdagangan organ kepada pihak rumah sakit?Jadi memang begini, itu kan biasanya nggak sembarang ruÂmah sakit yang melakukan opÂerasi transplantasi. Itu ditunjuk oleh menteri. Dan di rumah sakit itu biasanya ada tim termasuk tim konselor psikologis. Jadi memang harus ada pendekatan psikologis. Kalau sampai si pasien pendonor itu tidak dengan sukarela, ya itulah kecolongan. Artinya konseling psikologisÂnya itu bisa jadi tidak berjalan. Dengan kasus ini, tentunya kedepan perlu dipertajam lagi konseling psikologisnya, sehÂingga memang hadirnya tim itu memang penting untuk pendoÂnor. Dan yang pasti, persoalan manusia dan organ di dalamnya, kita tidak bisa hanya bicara perÂsoalan ekonomi.
Bila terbukti ada dokter yang terlibat apa sanksi yang akan diberikan IDI? Ini bukan lagi ranah disiplin atau pelanggaran etika dokter. Praktik jual beli organ tubuh manusia merupakan tindak kriminal. Karena kriminal umÂum, makanya aparat penegak hukum yang nanti akan meninÂdaknya. ***