Vonis Hakim Parlas Nababan memicu protes dari berÂbagai kalangan. Hakim Pengadilan Negeri Palembang ini menolak seluruh gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), perusahaan yang diduga melakukan pembaÂkaran hutan pada 2014 lalu. Terkait hal ini Hakim Agung Gayus Lumbuun punya pandangan sendiri. Berbincang-bincang ringan dengan Rakyat Merdeka di kantornya, Hakim Gayus memaparkan pendapatnya terkait puÂtusan hakim Parlas dan pandangannya terhadap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) contempt of court alias penghinaan terhadap peradilan yang diajukan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) organisasi profesi yang menjadi tempatnya bernaung.
Terkait vonis terhadap PT BMH, banyak kalangan menilai logika Hakim Parlas Nababan tidak pas dalam memutuskan perkara itu. Tanggapan Anda?
Kalau saya ditanya mengenai logika hakim dalam memutus sebuah perkara, maka sesungguhÂnya logika hakim itu tidak berdiri sendiri. Ada dua pasangannya yang mendampingi logika hakim dalam memutus perkara. Apa itu? Pertama, keyakinan hakim dan berikutnya adalah undang-undang atau regulasi. Jadi putusan hakim itu didasarkan pada tiga elemen yaitu; logika hakim, keyakinan hakim dan undang-undang atau regulasi. Logika itu menggamÂbarkan bahwa hakim berpikir secara logis mengenai perbuatan yang dilakukan pihak-pihak yang berperkara secara independen tidak boleh terpengaruh oleh apapun logikanya. Kemudian kalau keyakinan hakim itu ya memang didasarkan pada nurani hakim itu dalam melihat perkara. Nurani hakim akan berbicara dalam melihat sebuah perkara. Nah kalau undang undang itu hakim menyesuaikan pengaturan yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Kalau ketiga elemen itu dikaitkan dengan putusan hakim Parlas bagaimana hasilnya?
Kalau ketiga elemen itu dikaitkan dengan putusan hakim Parlas bagaimana hasilnya?Kalau dikaitkan dengan vonis PN Palembang mengenai keÂbakaran hutan itu kan perkara perdata ya. Dalam pemerosesan perkara perdata itu hakim sifatÂnya pasif, tak boleh aktif. Yang dimaksud tidak boleh aktif di sini adalah hakim dalam memvonis perkara perdata itu tidak boleh melebihi apa yang ada di hadapannya yaitu bukti-bukti, saksi-saksi dan kemuÂdian fakta-fakta persidangan. Hingga kini belum pernah ada pengembangan konsep perdata. Hingga kini konsep perdata yang masih berlaku adalah tidak bolehnya putusan hakim yang ultra petita. (putusan ultra petita adalah putusan yang mengabulÂkan hal-hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut). Dengan keadaan seperti itu maka hakim memutuskan dengan adil. Kemudian kalau kita bicara adil kita bicara soal kepastian hukum dan kemanfaatan putusan itu dari sisi sosiologi hukum.
Jadi menurut Anda putusan Hakim Parlas itu sudah meÂmenuhi rasa keadilan?Sebagai sesama hakim saya tidak boleh mencampuri puÂtusan hakim lainnya, apakah memenuhi unsur, apakah bener atau salah (putusannya), saya tidak membahas perkara itu. Pendapat saya kalau kita berbiÂcara soal logika hakim pastinya logikanya itu tidak terintervensi misalnya oleh tekan atau desaÂkan masyarakat atau pendapat publik.
Apa sebenarnya yang Anda lihat di balik putusan Hakim Parlas ini?Jadi mungkin ada beberapa hal yang terungkap misalnya, bahwa ini adalah perkara perdata maka fakta-fakta yang diajukan pihak penggugat haruslah lengkap. Sebab putusan perkara perdata itu tidak bisa ultra petita. Sebab saya membaca di media bahwa ukuran 25 ribu hektare (lahan hutan yang terbakar) itu tidak diÂdampingi bukti yang cukup. Nah itu kan fakta pengadilannya.
Kalau klaim tersebut tidak disertai bukti yang cukup, baÂgaimana hakim mengukur fakta kerugian yang terjadi, kalau nggak jelas. Saya tidak mau mengatakan bahwa ini kesalaÂhan penggugat, saya tidak mau mengatakan itu. Jadi saya mau mengatakan bahwa ada baiknya (penggugat) selain menggugat secara perdata, juga menggugat ke peradilan pidana dan peradiÂlan TUN (Tata Usaha Negara) supaya persoalannya lengkap terselesaikan. Di peradilan TUN nanti kan bisa terungkap apakah ada kekurangan syarat perizÂinan.
Di peradilan pidana kan juÂga bisa terungkap siapa yang melakukan pembakaran, siapa yang bertangggung jawab. Di wilayah pidana hakimnya itu bisa bebas cakupannya bisa samÂpai akar-akar kebenaran formil dan materil.
Namun ada yang berpendaÂpat anehnya putusan Hakim Parlas itu lantaran pengadilan kita kurang lengkap sehingga diperlukan pengadilan lingÂkungan. Bagaimana tanggaÂpan Anda? Itu bagus. Memang kita semua ingin punya pengadilan khusus tentang kehutanan, sehingga perkara seperti itu sekarang gugatannya hanya masuk ke pidana, perdata atau TUN. Ke depan kita harus punya pengaÂdilan sendiri-sendiri, kehutanan perikanan, korupsi, pajak itu ngÂgak menutup kemungkinan.
Beralih ke hal lain. Terkait pengajuan draf RUU contempt of court alias penghinaan terhÂadap peradilan apa pendapat Anda?Saya tidak sepakat dengan draf
contempt of court itu, karÂena membelenggu pers untuk memberi kontribusinya tentang informasi peradilan kepada publik.
Contempt of court itu kan sebenarnya bukan kejahaÂtan, karena bisa saja orang yang dituduh melakukan itu dia tidak sadar.
Contempt of court atau penghinaan pada pengadilan itu artinya penghinaan bukan pada personal, tapi penghinaan pada lembaga peradilan. ***