Walaupun Indonesia menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun, namun rata-rata lama sekolah baru mencapai 7,6 tahun. Juga terdapat kesenjangan gender dalam pendidikan dan pekerjaan.
"Hanya sekitar 51 persen dari perempuan yang bekerja dibanding laki-laki sebesar 84 persen. Perempuan juga hanya belajar selama tujuh tahun dibanding laki-laki 8,2 tahun," ujar Alpha Amirrachman selaku direktur Riset Indonesia Mendidik, menanggapi laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan UNDP baru-baru ini.
Berdasarkan laporan tersebut, papar Alpha, IPM Indonesia berada dalam urutan 110 dari 188 negara, sejajar dengan Gabon, sebuah negara yang 25 tahun lebih muda, bahkan tertinggal dari negara kecil Samoa dalam hal usia harapan hidup, akses kepada pengetahunan dan standar kehidupan yang layak.
Bank Dunia dalam laporannya bahkan menyebutkan bahwa anak kelas 3 SD di Jawa membaca 26 kali lebih cepat dari anak-anak usia yang sama di Nusa Tenggara, Maluku atau Papua.
Sementara hasil dari Program for International Student Assessment (PISA) pada 2013 menunjukkan Indonesia menempati peringkat kedua terendah dari 65 negara yang diberikan tes tiga tahunan ini meliputi membaca, matematika dan sains, lebih buruk dari peringkat 57 tahun 2009.
"Pemerintah, siapapun yang berkuasa, perlu juga memiliki komitmen dan konsistensi dalam menerapkan kebijakan, misalnya dalam hal penerapan kurikulum," ujarnya.
Karena itu menurut dia,
blue-print pendidikan Indonesia untuk jangka menengah dan panjang perlu dirumuskan bersama oleh para pemangku kepentingan untuk menjadi acuan pemerintah.
Direktur Eksekutif Muhammad Yusuf memaparkan, salah satu penyebab tidak optimalnya peningkatkan IPM adalah selain masih rendahnya kualitas pendidikan juga faktor kesehatan di mana usia harapan hidup menurun dari 70,8 tahun pada 2014 menjadi 68,9 tahun pada tahun ini, di bawah rata-rata 74 tahun di Asia Timur dan Pasifik dan 75.8 tahun di Tiongkok. Pada 1980 usia harapan hidup Tiongkok hampir sama dengan Indonesia, namun sekarang jauh meninggalkan Indonesia, imbuh Yusuf mengingatkan.
Yusuf mengatakan, dalam hal ini pemerintah memang telah memperkenalkan Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat. Namun dampak dari kebijakan yang baru diterapkan ini masih belum terlihat secara utuh karena kompleksnya permasalahan dan membutuhkan waktu yang panjang untuk melihat hasilnya.
"Karena belum terlihat apakah Kartu Indonesia Pintar telah berhasil menggiring anak-anak yang tidak sekolah untuk merubah orientasi hidup mereka agar kembali ke bangku sekolah," imbuhnya.
Untuk itu menurut dia, berbagai komponen bangsa perlu bahu-membahu mendukung percepatan pembangunan sumber daya manusia dan mengarahkannya secara tepat.
"Mencermati situasi di atas, maka Indonesia Mendidik akan melakukan berbagai upaya. Yang pertama akan memastikan anak-anak usia sekolah mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas," bebernya.
Tidak hanya sekedar membuka akses seluas-luasnya, lanjut Yusuf, namun juga memastikan pendidikan yang berkualitas untuk semua. Kedua, mengupayakan mereka yang sudah di bangku sekolah dapat terdeteksi minat dan bakat mereka sehingga mereka dapat berkembang dengan optimal.
"Yang ketiga, akan mengupayakan agar anak-anak ini tumbuh dengan sehat dengan memberikan layanan kesehatan yang mumpuni untuk meningkatkan usia harapan hidup anak bangsa," ujar Yusuf.
Yusuf menambahkan selain bergerak di jalur pendidikan formal, Indonesia Mendidik juga akan memberikan penguatan di jalur non-formal, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah mulai berlaku awal bulan ini.
"Dengan bekerja sama dengan pemerintah-pemerintah daerah, kita akan memberikan pelatihan-pelatihan pada siswa-siswa yang mengarah pada penguatan kepemimpinan dan entrepreneurship," pungkasnya
.[wid]