AKHIRNYA Presiden Joko Widodo menumpahkan kemarahannya atas pencatutan namanya dalam sinetron "Papa Minta Saham". Presiden dengan tegas menyatakan hal itu terkait soal kepatutan, kepantasan dan moralitas.
‎Menarik untuk diperbandingkan adalah apakah kegiatan mengkhianati amanat rakyat tidak termasuk dalam kategori pelanggaran etika? Melanggar kepatutan, kepantasan dan moralitas? Apakah derajatnya tidak lebih buruk dari mencatut nama?
J‎okowi telah mengkhianati amanat rakyat. Tatkala rakyat Solo mempercayainya menjadi Wali Kota, tiba-tiba dirinya meninggalkan jabatan tersebut dan memburu jabatan Gubernur Jakarta. Dan ketika rakyat Jakarta sudah mempercayainya sebagai pemimpin, Jokowi pun tidak menuntaskan amanat tersebut dan memburu jabatan Presiden.
P‎adahal, dalam sumpah jabatan disebutkan masa periode kepeimpinan dan Jokowi sudah berjanji akan menjalankan amanat. Bahkan untuk memuluskan ambisi memburu jabatan, Jokowi misalnya menggadang mobil Esemka sebagai mobil nasional. Namun tatkala jabatan tersebut sudah diraihnya, ternyata mobil Esemka ditinggalkannya begitu saja. Tak hanya itu, seabrek janji-janji kampanye lainnya ternyata dengan mudah dilanggar.
Dari perspektif etika dan moralitas, apakah tindakan Jokowi tersebut tidak bertentangan dengan asas-asas etika dan moralitas? Sayang di lembaga eksekutif tidak ada yang namanya Mahkamah Kehormatan sebagaimana yang ada di lembaga legislatif, sehigga tindakan Jokowi tidak pernah disidangkan dalam Mahkamah Kehormatan.
‎Mestinya sebagai seorang yang amanah, Jokowi menyelesaikan dulu masa jabatannya sebelum tampil di kepemimpinan yang lebih tinggi. Memang sampai saat ini belum ada putusan hukum apa pun yang menyatakan tindakan berhenti di tengah jalan sebagai pelanggaran. Namun, dari perspektif etika dan moralitas jelas itu bisa dikategorikan sebuah pelanggaran.[***]
Penulis adalah Sekretaris Jenderal H‎impunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika).‎