Persoalan rendahnya penyerapan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 disikapi pro dan kontra netiÂzen. Banyak netizen mengaitkannya dengan ketidakmampuan Gubernur DKI Jakarta mengelola anggaran. Tetapi tak sedikit netizen mendukung Gubernur Basuki Tjahaja Purnama.
Daya serap anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2015 sama rendahnya dengan serapan anggaran provinsi baru Kalimantan Utara (Kaltara). Minimnya penyeraÂpan anggaran merupakan salah satu indikasi buruknya kinerja birokrasi Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Meskipun, kinerja birokrasi tidak bisa diukur semata-mata berdasarÂkan anggaran yang dibelanjakan.
Sejak 2013, DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan serapan angÂgaran rendah. Di tahun 2015, serapan anggaran DKI berada di urutan 5 terbawah bersama provinsi pemekaÂran Kalimantan Utara. Kalimantan Utara ada di urutan ketiga terendah se-Indonesia.
Sementara itu, penyerapan angÂgaran DKI Jakarta kurang dari 40 persen total APBD DKI Rp 63 triliun. Penyerapan yang rendah ini salah satunya karena pengesahan anggaran yang terlambat. Akhirnya, pengeluaran paling besar untuk baÂyar gaji pegawai.
"Kita capek-capek bayar pajak tapi habis buat belanja pegawai. Sedangkan untuk kesehatan dan pendidikan masih rendah," ucap Direktur Advokasi dan Investigasi LSM FITRA, Apung Widadi.
Sepertinya penyerapan anggaran DKI Jakarta pada tahun 2016 kemÂbali rendah. Pasalnya, sambung Apung, terjadi keterlambatan pengeÂsahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2016.
"Memalukan, DKI Jakarta pusatÂnya Indonesia daya serap anggaranÂnya sama rendahnya dengan provinsi baru hasil pemekaran Kalimantan Utara," kata Apung. Dia berharap Gubernur DKI Jakarta, Kementerian Dalam Negeri dan DPRD DKI Jakarta introspeksi diri.
Masalah ini juga menjadi perhaÂtian netizen. Pada umumnya netizen menilai kepemimpinan Ahok sebaÂgai penyebab penyerapan anggaran minimal.
Di antaranya, akun @MasnurMarzuki mempertanyakan kemamÂpuan Ahok memimpin Ibu Kota. "Penyerapan anggaran DKI sama rendahnya dengan Kalimantan Utara yang baru jadi provinsi. Ahok juga baru jadi Gubernur ya?" sindirnya.
Akun @ferizandra heran dengan sikap sebagian orang yang terkesan masih terus-terusan membela bekas Bupati Belitung Timur itu. Padahal, menurut dia, Ahok terbukti tidak makÂsimal memimpin Jakarta. "Serapan anggaran Pemprov DKI rendah, bus TransJakarta sering terbakar, macet dan banjir semakin parah. Eh, masih ada aja ya yang nyembah Ahok...," ujarnya.
Pemilik akun @kaschner70 menÂgaku warga DKI Jakarta yang taat membayar pajak, menilai Ahok tidak mampu mengelola anggaran. Demikian rendahnya penyerapan anggaran Pemprov DKI pada tahun ini, menunjukkan uang APBD hanya digunakan untuk bayar gaji pegawai atau belanja rutin saja.
"Capek-capek orang bayar pajak. Tahu-tahunya tuh anggaran hanya buat belanja pegawai. Padahal di sektor-sektor yang penting minim perbaikan," sesalnya.
Netizen @akun123456789 menÂgusulkan jumlah APBD untuk DKI Jakarta dikurangi pada tahun 2016, terutama anggaran yang bersumber dari APBN. "Ada baiknya anggaran APBN jangan kasih ke Jakarta lagi. Alihkan saja ke luar DKI atau luar Pulau Jawa, supaya pembangunan lebih seimbang," katanya.
Netizen lain mengaitkan masalah ini dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Akun @BrataRobinto menyarankan masyarakat yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta untuk tidak memilÂih Ahok pada Pilkada tahun 2017 menÂdatang. "Sebaiknya tidak usah pilih dia lagi," cuitnya.
Serangan netizen terhadap Ahok terkait rendahnya penyerapan anggaÂran DKI Jakarta mendapat tanggapan akun @temanAhok, yang diketahui dikelola relawan pendukung Ahok. Relawan ini ingin Ahok kembali mencalonkan diri pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 melalui jalur Independen.
Di antara argumentasi pembelaan akun itu mengatakan, meskipun serapan anggaran rendah, namun seluruh angÂgaran yang digunakan tidak bermasalah. "Sayangnya nggak ada yang catat, berapa anggaran yang bisa 'diselamatÂkan'," klaim akun @temanahok.
Netizen lain juga menyampaikan hal senada. Bagi netizen ini, menyelamatÂkan anggaran yang berisiko dikorupsi, lebih baik ketimbang membiarkan angÂgaran dibelanjakan dan potensial jadi bancakan. "Serapan anggaran Pemprov DKI Jakarta harus diakui sangat rendah, tapi menyelamatkan anggaran yang dikorupsi justru jauh lebih penting," cuitnya akun @TolakBigotRI.
Akun @Jopiesays menolak peÂnilaian kinerja Pemerintah berdasarÂkan besaran penyerapan anggaran. Menurut dia, penilaian kinerja seharÂusnya dilihat dari hasil atau capaian yang telah diraih oleh pemerintah daerah. "Kenapa penilaian hanya dari serapan anggaran? E-Catalouge ngÂgak dibahas? Dengan serapan yang rendah tapi output-nya tidak dibaÂhas?" kicaunya.
Akun @manalu_o menguatkan pendapat akun @Jopiesays. Kata dia, hasil penggunaan anggaran itu yang seharusnya menjadi perhatian publik untuk menilai kinerja pemerÂintah. "Bukan jumlah serapan yang penting, tapi hasil serapan anggaran yang penting...," katanya.
Akun @dharmasetyabudi malah khawatir apabila serapan anggaran mencapai 100 persen. "Patokan serapan bukan prestasi, kalau yang "siluman" juga besar buat apa? Duit hasil kita bayar pajak dimain-mainin," tegasnya.
"Jadi intinya bukan serapan angÂgaran DKI rendah, TETAPI banyak anggaran siluman yang tidak diekÂsekusi," sambung pengguna akun @ hudattamini.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga menyampaikan tanggapan. Dia meÂnyatakan, pelayanan publik tetap berlangsung meskipun anggaran yang terserap rendah. "Saya mau tanya sama warga Jakarta, Jakarta sekarang jalannya lebih hitam enggak? Sungai lebih bersih enggak? Anak-anak daÂpat KJP (Kartu Jakarta Pintar) lebih banyak enggak? Kamu urus izin surat lebih gampang enggak? Ada pungli enggak? Taman-taman lebih hijau enggak," kata Ahok di Balai Kota, kemarin.
Menurut dia, hal itu berarti rendah atau tingginya serapan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja. Ahok berÂpendapat lebih baik dia "mengunci" 50 persen anggaran, dibanding membiarÂkan terserap hingga 100persen. ***