Ketersediaan obat anti retroviral (ARV), jadi tema yang akan diangkat dalam peringatan Hari AIDS Internasional yang jatuh hari ini. Di Indonesia khususnya, para Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), mengalami kesulitan untuk mendapatkan obat, terlebih bagi para ODHA yang beraÂda di pelosok. Ketua Yayasan AIDS Indonesia (YAIDS) dr. Kartono Mohamad mengatakan, hal itu sebagai masalah penting yang harus segera dituntaskan. Berikut penjelaÂsan Kartono kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Bagaimana ketersediaan ARV di Indonesia?
Ini yang masih menjadi suatu masalah, terutama untuk negara seperti Indonesia. Karena obat itu memang mahal.
Kenapa mahal?
Kenapa mahal? Karena ketersediaan obat ini masih diimpor dan dibayar peÂmerintah, jadi memang mahal. Itu pun sebenarnya pemerintah sudah mengimpor dengan memÂbeli harga yang termurah dari India dan Cina. Yang kasihan kan yang di daerah, yang suÂsah dijangkau, karena obatnya mungkin tidak sampai ke sana. Jadi soal ketersediaan dan akses pelayanan obat yang belum samÂpai ke sana.
Sekarang ini daerah penyeÂbaran penyakit ini di mana saja? Daerah-daerah endemik masih sama saja. Jakarta, Bali, Papua. Daerah-daerah itu yang tingkat penyebarannya masih tinggi. Beberapa daerah lain juga meÂnyusul, seperti Jawa Barat. Tapi semua provinsi di Indonesia sekarang ini terdapat pasien dengan HIV/AIDS. Tapi itu masalahnya, akses terhadap obatnya masih susah.
Penyebab dominannya? Hubungan seks yang tidak aman.
Bagaimana cara menanÂganinya? Yang perlu dilakukan adalah kampanye menggunakan pengaÂman saat berhubungan. Tapi masih tetap ada kesulitan.
Apa itu? Kampanye penggunaan alat pengaman dalam hubungan sekÂsual seringkali ditafsirkan untuk memberikan kesempatan melakuÂkan seks bebas. Padahal ada atau tidak ada kampanye itu, pergaulan bebas tetap berjalan. Dengan adanya kampanye itu pun, bukan berarti orang akan lebih berani melakukan hubungan seks bebas. Penggunaan alat pengaman akan menyelamatkan banyak orang.
Bagaimana tenaga medis di Indonesia? Saat ini jumlahnya dirasa masih kurang dan belum menÂcukupi. Tapi untuk kota-kota besar, pelatihan untuk konselor memang sudah dilakukan.
Peran masyarakat bagaimaÂna? Sebagai anggota masyarakat, kami juga berikan penyuluhan jangan sampai terkena HIV. Bagi yang sudah positif, perlu diberikan konseling, edukasi, pelatihan dan sebagainya.
Perlu dilakukan untuk para penderita agar memiliki keahlÂian. Bimbingan ini cukup menÂgatasi ketakutan terhadap penyaÂkit tersebut.
Masih banyak orang malu memeriksakan diri, ini baÂgaimana? Jadi masalahnya adalah karÂena stigma. Di Indonesia, jika orang sudah positif penyakit ini selalu dikaitkan dengan dosa dan orang nakal. Padahal AIDS bisa juga tertular dari suntikan, karÂena transfusi, bisa juga karena suami yang menulari istri yang setia di rumah.
Jadi? Jangan selalu menuduh AIDS itu dosa, dan penggunaan konÂdom jangan selalu dikaitkan denÂgan dosa dan seks bebas. ***