Independensi dan keberanian Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengadili pimpinan dewan 'nakal' kembali diuji menyusul laporan Menteri Energi dan SumÂber Daya Mineral Sudirman Said terkait praktik lobi 'kotor' yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) saat menemui pimpinan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Berdasarkan dokumen laporan yang bocor ke berbagai media, dalam pertemuan berÂsama pimpinan PTFI itu, Setnov menjanjikan cara penyelesaian kelanjutan kontrak PTFI, dan meminta agar PTFI memberikan saham yang disebutnya akan diberikan kepada Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Setnov juga disebut meminta saham perusahaan yang sedang membangun proyek pembangkit listrik di Timika.
Selama jadi bos DPR, Setnov sudah dua kali dilaporkan ke MKD. Sebelumnya politisi kawakan Partai Golkar ini juga dilaporkan terkait pertemuannya dengan saudagar tajir yang juga bakal capres Amerika Serikat Donald Trump di sela-sela kunÂjungan kerjanya (kunker) ke negeri Abang Sam.
Dalam perkara itu, MKD yang mengadili Setnov secara tertuÂtup, hanya menjatuhkan sanksi teguran. Kini keberanian MKD kembali diuji dengan kasus Setnov yang boleh dibilang cukup serius karena telah mencatut nama Presiden dan Wapres.
Ketua MKD Surahman Hidayat yang ketika dikontak mengaku tengah berada di Yunani melakuÂkan kunker memaparkan langkah yang akan ditempuh MKD untuk menangani perkara Setnov. Dia menolak jika MKD dikatakan seperti 'macan ompong' lantaran tak berani menjatuhkan sanksi berat terhadap pimpinan DPR yang melanggar aturan.
Ketua DPR Setya Novanto kembali diperkarakan ke MKD lantaran diduga menÂcatut nama Presiden dan Wapres. Apakah MKD akan memproses perkara ini?MKD memproses sesuai tata beracara MKD. Setiap aduan termasuk dari Menteri ESDM harus disertai bukti-bukti fisik pendukung, baru dibahas dalam rapat internal MKD, apakah dilanjutkan ke pemanggilan yang bersangkutan atau tidak. Sesuai bukti-bukti di persidanÂgan dengan teradu, pengadu dan saksi-saksi dan ahli, dirumusÂkan kontruksi perkaranya, dan diadakan rapat internal untuk menyimpulkan adakah pelangÂgaran kode etik.
Lantas jika ternyata setelah disimpulkan ada pelanggaran kode etik apa sanksi yang akan dijatuhkan kepada Setnov?Kalau disimpulkan ada (peÂlanggaran kode etik), apa tingÂkatannya serta apa sanksinya. Kalau sanksi ringan tidak lebih dari teguran, kalau sedang bisa mutasi atau pembebasan jabatan, kalau berat bisa skorsing atau PAW tapi harus melalui Panel.
Saat menangani perkara pimpinan DPR, MKD terkeÂsan seperti 'macan ompong'. Banyak kalangan menilai sanksi teguran kepada Setnov saat bertemu Donald Trump terlalu ringan?Soal kesan, tergantung dari sudut mana melihatnya. Misal salah satu editorial media menÂgapresiasi MKD terkait pemÂrosesan konferensi pers dengan Donald Trump. Analogi dengan gelas yang diisi 3/4 air, bisa dikaÂtakan airnya hampir penuh, tapi juga bisa dikatakan bahwa yang bisa diisi air tinggal sedikit.
Selain itu MKD juga dikeÂsankan tertutup dalam memÂproses perkaran anggota deÂwan 'nakal', bagaimana Anda menanggapinya?Sesuai Tatib (Tata Tertib) MKD, pemeriksaan bersifat tertutup sedang pemberitahuan tentang putusan bersifat terbuka. Tidak ada keharusan MKD umÂumkan agenda pemeriksaan meski tidak terlarang juga bagi media untuk cari tahu.
Apa sebenarnya kendala MKD dalam menindak pelangÂgaran yang dilakukan pimpiÂnan?Etika itu ada yang tertulis ada pula yang tidak. Dalam memproses dugaan pelanggaran etika yang tertulis dalam Kode Etik oleh pimpinan tidak bisa mengesampingkan sama sekali etika tidak tertulis terhadap pimpinan. Kaitan dengan DPRtidak mudah mengesampingkan sebagai entitas politik, yang konÂsen dengan kepentingan dan jaga imej yang juga suka menarik tambahan tenaga bantuan. Hal yang tak mudah untuk dinihilkan sama sekali.
Apakah struktur MKD seÂcara politik di DPR tidak cukup powerfull?Secara pribadi saya melihat MKD masih perlu diperkuat. Paling tidak dari dua hal.
Apa saja itu?Pertama, penerapan azas imÂparsial dalam memproses seÂorang anggota dari suatu fraksi yang diduga melanggar kode etik. Kedua, putusan rapat pleno MKD harus final mengikat, tidak perlu disahkan di paripurna.
Terkait kasus Setnov yang diÂduga telah melanggar etik karÂena mencatut nama
Presiden dan Wapres. Apa MKD bisa memecat ketua DPR?Jawabannya ada di pertanyaan pertama (Kalau sanksi ringan tidak lebih dari teguran, kalau sedang bisa mutasi atau pembeÂbasan jabatan, kalau berat bisa skorsing atau PAW tapi harus melalui Panel).
Apakah MKD masih meÂmandang pelanggaran yang diduga dilakukan Setnov ini masih kategori pelanggaran ringan?Jawabannya sama dengan sebelumnya. Perlu ditegaskan, bahwa setiap peraturan berlaku sama kepada setiap personelnya, apakah sebagai anggota biasa atau sebagai unsur pimpinan. Bahkan dari konsepsi adanya faktor yang meringankan atau memberatkan dalam penjatuÂhan sanksi, maka sebenarnya posisi sebagai pimpinan meruÂpakan pemberat manakala harus menerima sanksi atas suatu pelanggaran. Di MKD, otoritas penerapannya ada di pleno rapat internal. ***