Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia, Lulie Melling menegaskan, semua pihak baik pemerintah dan masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa tidak semua kebakaran di lahan gambut disebabkan oleh korporasi. Pasalnya, publik seringkali tidak bisa membandingkan antara gambut yang terkelola dengan gambut yang tidak terkelola.
"Perlu komunikasi lebih baik agar tidak ada persepsi yang keliru," kata Lulie di Jakarta, Rabu (18/11).
Di Malaysia, lanjut dia, gambut bisa dikelola dengan baik sehingga sulit terbakar. Melling memaparkan, di Sarawak terdapat 1,2 juta hektar lahan gambut atau 13 persen dari luas daratan. Sarawak yang merupakan kawasan gambut terbesar di Malaysia, dapat terhindar dari kebakaran karena mempunyai teknologi pemadatan dan tata kelola air yang baik.
Menurut Lulie, persoalan kebakaran seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, tidak terjadi di Sarawak karena ada kesadaran bersama mengenai pentingnya menerapkan teknologi tata kelola air mulai dari petani kecil hingga korporasi.
Kesadaran mengenai pentingnya teknologi itu seharusnya dikomunikasikan akademisi kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengambil keputusan industri dan pekerja.
"Ketika tidak ada penelitian mengenai gambut maka yang terjadi fitnah. Penyelidikan tanah gambut itu kurang. Yang kita tahu tentang gambut masih kurang. Kita tidak boleh buat imajinasi tetapi diverifikasi di lahan gambut. Tanah gambut itu kekayaan Indonesia dan Malaysia karena tanah sumber penting bagi sebuah negara, menentukan kekayaan sebuah negara," tegasnya.
Lulie mengingatkan bahwa tanah gambut bisa diubah menjadi lahan pertanian yang bisa ditanami kelapa sawit dan memberikan pendapatan kepada negara.
"Malaysia bisa terselamatkan krisis ekonomi tiga kali berkat sawit. Gambut ibarat itik mengeluarkan telur emas. Di serawak, jumlah areal perkebunan sawit naik dua kali lipat. Dari segi ekonomi di Sarawak, pendapatan secara langsung sawit di lahan gambut mencapai 400 juta RM-500 juta Ringgit per tahun," jelas Lulie.
Lulie mengatakan, sawit itu komoditi yang kena pajak paling tinggi. Sementara minyak nabati lain dapat subsisdi. Tapi, meski pajak tinggi, para pengusaha komitmen selalu bayar pajak. Dengan inovasi teknologi, kata Lulie, dapat menjadikan gambut sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan.
"Sekarang kita punya excavator untuk mengelola gambut. Dalam buku teks tanah tidak boleh dipadatkan tetapi kalau gambut itu harus dipadatkan," bebernya.
Sedangkan untuk memperbaiki gambut, Malaysia membuat drainase, pemadatan dan pengelolaan air. Persiapan lahan ini perlu dilakukan sebelum digunakan lahan gambut untuk perkebunan. Persiapan antara lain drainase, destumping, stacking, manajemen air dan dibuat tidak longgar.
"Proses pemadatan tanah ini meningkatkan density soil bulk. Dengan hukum kapiler akan mengikuti ukuran lubang. Jika dipadatkan, muka air lebih lembab," paparnya.
[wid]