"Tong...tong...tong..." suara tiang listrik yang dipukul kayu dan besi menggema di Gang Haji Njun, RT 01, RW 01, Kramat Jati, Jakarta Timur, dini hari kemarin.
Puluhan warga yang bangun dari tidurnya, lantas berkumpul ke pusat suara. "Air mulai tingÂgi," ujar Fajar, warga setempat yang ikut terjaga ketika suara tiang listrik dibunyikan.
Tepat pukul 1 pagi, air sudah tumpah dari Kali Ciliwung. Saluran air selebar 2,5 meter dengan kedalaman 4-5 meter itu, tidak mampu menahan kiriman air dari Bogor.
Seolah terbiasa dengan banjir, warga tanpa instruksi langsung mengangkut puluhan karung berisi pasir hingga triplek untuk meninggikan dinding turap yang sudah kelebihan air. Karung-karung pasir itu, sudah disiapkan warga jika banjir datang.
Setiap tahun, warga setempat kebanjiran ketika musim hujan datang. Penyebabnya, selain inÂtensitas hujan yang meninggi, wilayah itu juga dekat dengan Kali Ciliwung. Jika ketinggian dinding tidak sebanding dengan ketingÂgian air, maka terjadilah banjir.
Padahal, tahun lalu, pemerinÂtah telah merevitalisasi saluran air tersebut dengan dinding beton dan ditinggikan sekitar satu meter. Kendati begitu, tidak mampu menahan air yang voluÂmenya jauh lebih besar.
Tapi, dengan tambahan karÂung-karung pasir yang sudah disiapkan, air tidak sampai masuk ke rumah-rumah warga. "Paling parah tahun 2007, saat itu sedengÂkul orang dewasa," katanya.
Perlu waktu satu jam, puluÂhan warga bergotong royong membuat tambahan dinding turap seadanya. Meskipun sudah terpasang turap, warga masih cemas, apakah karung-karung pasir itu mampu menahan laju air hingga tidak masuk ke peÂmukiman.
Alhasil, warga memilih berÂkumpul di Pintu Air Hek, Kramat Jati, Jakarta Timur. Lokasinya berseberangan dengan rumah warga. Biasanya, di dalam ruanÂgan petugas pintu air yang hanya 2x2 meter, warga bersama petuÂgas pintu air berkumpul untuk mendapatkan informasi terkini.
Pintu air yang terletak tepat di perbatasan Kecamatan Kramat Jati dan Ciracas, Jakarta Timur itu selalu ramai ketika banjir datang. Pasalnya, baik warga Kramat Jati maupun Ciracas, memiliki kepentingan soal kiriÂman air dari Bogor.
Di area pintu air yang beÂralamat di Jalan Raya Bogor itu, terdapat dua buah pintu air baja dengan masing-masing lebar 1,5 meter. Posisi pintu air menuju pemukiman warga di Kecamatan Ciracas, Pasar Rebo, dan sekiÂtarnya, berada di salah satu sisi aliran Kali Ciliwung.
Kedua daun pintu itu sejak malam hari kemarin dibuka lebar oleh petugas pintu air. Pasalnya, jika tidak dibuka, air akan meÂluap dan membanjiri warga Kramat Jati yang berada di sisi sungai. Sesuai prosedur yang berlaku, pintu itu pun dibuka.
Tidak hanya pintu menuju kawasan Ciracas maupun Pasar Rebo yang dibuka, dua buah daun pintu yang melintangi Kali Ciliwung, terbuka lebar. Air leluasa mengalir dari hulu yang berada di Bendungan Katulampa Bogor, hingga Jakarta. Memang, belum ada jalan lain selain memÂbuka lebar pintu dan berharap kiriman air segera berkurang.
Guyuran hujan dan kiriman air dari Bogor tidak mampu terÂtampung dinding Kali Ciliwung. Alhasil, air mengalir ke daraÂtan yang lebih rendah. Yakni, ke Jalan Raya Bogor. Dalam sekejap, akses jalan dari Jakarta Timur menuju Bogor itu terÂgenang air berketinggian 30 centimeter.
Masih dianggap beruntung oleh Fajar, peristiwa air meluap itu terjadi pada dini hari, saat tidak banyak kendaraan melintasi jalan yang sudah dipastikan padat saat pagi hingga malam. Pasalnya, seÂlain menjadi penghubung antara Bogor dan Jakarta, kawasan itu juga dekat dengan Pertigaan Hek, akses jalan menuju Pasar Rebo, terÂmasuk Bekasi. "Jam dua pagi, air luber ke jalan-jalan," cerita Fajar.
Tapi, kiriman air dari Bogor kian lama kian berkurang. Meskipun laju air masih terlihat deras dengan suara khasnya. Tepat pukul 03.30, ketinggian air tidak lagi melewati dinding Kali Ciliwung. Namun, genangan air di Jalan Raya Bogor baru surut saat pagi menjelang.
Azan Subuh berkumandang, penanda shalat itu seperti penanÂda warga untuk pulang ke rumah masing-masing. Laju air sudah dianggap normal. Tidak ada lagi air yang tumpah dari dinding Kali Ciliwung. Termasuk Fajar, pria 20 tahun itu kembali ke rumahnya untuk tidur.
Sementara, Muhammad Nur Cahyadi, satu di antara lima petugas Pintu Air Hek tetap berjaga di dalam pos pintu air. Dia terus mendengarkan radio rik yang saling mengomunikasiÂkan seluruh petugas pintu air di Jakarta, hingga dari hulu air, yakni Bendungan Katulampa.
Tepat jam empat pagi, Cahyadi akhirnya bisa bernafas lega. Pasalnya, Bendungan Katulampa mengabarkan penurunan status dari Siaga I dengan ketinggian air 210 cm, hingga Siaga IV ketinggian air sekitar 40 cm.
"Semakin tinggi air dari Katulampa, maka di Jakarta seÂmakin besar risiko banjinya," kata Cahyadi.
Berdasarkan informasi yang dilansir akun Twitter Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta @BPBDJakarta, pada pukul 04.00 WIB (Senin, 16/11), Bendung Katulampa siaga 4 atau ketingÂgian air 40 cm. Sedangkan di Depok setinggi 85 cm. ***