Berita

Ilustrasi/net

Permen Tata Niaga Gas Bisa Ciptakan Monopoli Baru  

JUMAT, 13 NOVEMBER 2015 | 13:32 WIB | LAPORAN: YAYAN SOPYANI AL HADI

. ‎Peraturan Menteri ESDM No. 37/2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi ‎membingungkan karena justru pihak-pihak terkait menyampaikan pernyataan yang saling berbantahan.

‎"‎Bahkan kali ini tidak hanya konsumen dan trader gas yang dibingungkan dengan pernyataan-pernyataan pejabat Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, tetapi Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Pertamina juga mengeluarkan pernyataan yang saling berbantahan terkait mahalnya harga gas PGN di wilayah Sumatera Utara," kata ‎Ketua Asosiasi Trader Gas Indonesia, Sabrun Amperawan, dalam keterangan beberapa saat lalu (Jumat, 13/11). 

‎Pernyataan Sabrun tersebut berawal dari keluhan industri pemakai gas akan mahalnya harga jual gas PGN yang dianggap oleh PGN sebagai tidak berdasar. PGN mengatakan harga gas di Sumatera  Utara mencapai 14 dolar AS/MMBTU dikarenakan harga beli gas yang bersumber dari LNG Donggi Senoro yang diperoleh PGN dari Pertagas Niaga memang sudah sangat mahal sebesar 13,8 dolar AS /MMBTU sehingga tidak ada alasan industri menyalahkan PGN atas mahalnya harga gas. 

Di sisi lain, Pertamina dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh VP Corporate Communication, Wianda Pusponegoro, meminta kepada PGN untuk jujur kepada masyarakat terkait mahalnya harga gas di Sumatera Utara. Wianda mengakui memang pasokan gas yang berasal dari LNG Donggi Senoro cukup mahal, namun PGN juga memperoleh pasokan gas Pertamina dari lapangan pangkalan susu yang harga nya relatif murah sebesar 8,31 dolar AS/MMBTU sehingga secara rata-rata bisa menjual gas ke industry pada level dibawa 11 dolar AS/MMBTU dan tetap memperoleh keuntungan yang wajar. 

‎Adapun menurut Dirjen Migas, IGN Wiratmadja Puja, mahalnya gas selama ini disebabkan oleh tata niaga gas yang amburadul, banyak trader gas tidak berfasilitas yang memperoleh alokasi sehingga menambah rantai distribusi yang pada gilirannya membuat harga gas semakin mahal. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Permen yang membatasi peluang trader gas tidak berfasilitas untuk mendapatkan alokasi gas.‎ 

‎‎Menurut Sabrun, Permen yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM melenceng jauh dari substansi niat pemerintah untuk menurunkan harga gas pada tingkat yang wajar dan kompetitif bagi industri. Bahkan, ‎Permen tersebut kalau dibaca pasal per pasal tidak mengatur apapun terkait trader gas berfailitas atau tidak berfasilitas, namun yang ada malah membatasi peluang trader gas yang telah membangun infrastruktur pipa untuk memperoleh alokasi gas.‎ 

‎"Ini bisa mematikan trader gas yang sudah berkontribusi membangun infrastruktur dan melayani industri dengan baik pada tingkat harga yang wajar. Bahkan bisa menciptakan monopoli bagi BUMN tertentu dibidang hilir gas," lanjutnya.‎ 

‎Terlebih, kata dia, Kepala BPH Migas Andy  N Someng dalam pernyataan minggu lalu menyatakan Permen ini harus ditarik kembali dan direvisi. Dia menilai Ditjen Migas lalai dan tidak mengerti soal bisnis gas bumi melalui pipa. berharap Menteri ESDM bijak dalam menyikapi keresahan konsumen dan trader gas yang sudah menjalankan aturan yang selama ini berlaku. 

‎Menurut Sabrun Amperawan berlakunya Permen ini juga dikhawatirkan bisa menciptakan monopoli bagi PGN atau BUMD sebagai penjual tunggal gas. Selama ini mereka memperoleh gas dari swasta dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah daripada harga gas dari PGN. 

‎"Namun kalau trader gas swasta diberangus , akan muncul penjual tunggal yang bisa sesukanya menaikan harga, terutama excess gas yang dipakai industry. Bahkan bisa dua kali lipat harga standarnya, sementara industry pemakai tidak punya pilihan. ‎Tentu ini tidak sejalan dengan semangat UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, " tambah Sabrun. 

‎Menurut Sabrun, kekhawatiran ini tentu sangat beralasan mengingat trader gas swasta saat ini menguasai 23 persenan pangsa pasar gas, dan tidak mungkin mereka bisa mengatur harga lebih tinggi dari harga PGN yang menguasai 77 persen pangsa gas Nasional. ‎

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Demokrat: Tidak Benar SBY Terlibat Isu Ijazah Palsu Jokowi

Rabu, 31 Desember 2025 | 22:08

Hidayat Humaid Daftar Caketum KONI DKI Setelah Kantongi 85 Persen Dukungan

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:57

Redesain Otonomi Daerah Perlu Dilakukan untuk Indonesia Maju

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:55

Zelensky Berharap Rencana Perdamaian Bisa Rampung Bulan Depan

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:46

Demokrasi di Titik Nadir, Logika "Grosir" Pilkada

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:37

Demokrat: Mari Fokus Bantu Korban Bencana, Setop Pengalihan Isu!

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:35

Setoran Pajak Jeblok, Purbaya Singgung Perlambatan Ekonomi Era Sri Mulyani

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:14

Pencabutan Subsidi Mobil Listrik Dinilai Rugikan Konsumen

Rabu, 31 Desember 2025 | 21:02

DPRD Pastikan Pemerintahan Kota Bogor Berjalan

Rabu, 31 Desember 2025 | 20:53

Refleksi Tahun 2025, DPR: Kita Harus Jaga Lingkungan!

Rabu, 31 Desember 2025 | 20:50

Selengkapnya