Pria ini berperan besar di balik penerbitan Surat Edaran (SE) Kapolri tentang prosedural penanganan kasus ujaÂran kebencian alias hate speech. Adrianus Meliala menÂgungkapkan, sejatinya perumusan SE Kapolri itu sudah dilakukan sejak tongkat komando Polri masih dipegang Jenderal Sutarman. "Sehingga saya tahu persis hingga bergulir menjadi surat edaran," ujar Adrianus kepada Rakyat Merdeka.
Kini banyak kalangan menÂcurigai penerbitan SE ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk membungkam daya kritis masyarakat. SE ini dinilai sebaÂgai bentuk kamuflase dari pasal penghinaan presiden yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimana Adrianus menanggapi tudingan tersebut, ini wawancara selengkapnya;
Memang apa urgensinya surat edaran ini?
Urgensinya kita lihat sendiri kan bahwa ujaran kebencian apakah itu teks tertulis, teks di media sosial, tukang khutbah, itu sekarang kan gila-gilaan banget. Sementara aparat di lapangan bimbang. Bimbangnya bukan karena faktor hukumnya, tapi lebih karena sebetulnya; aman nggak saya kalau saya meng-enforce (kasus) ini. Nah lewat surat edaran ini, Kapolri menekankan kepada seluruh jajaran di bawah agar jangan ragu-ragu. Tapi janÂgan juga sedikit-sedikit dibawa ke ranah hukum jika bisa dideÂteksi untuk dilakukan pencegaÂhan. Kalau tidak bisa (dicegah) barulah ditegakkan hukumnya dengan undang-undang yang ada, dengan pasal-pasal yang ada, yang selama ini tidak dipakai dalam rangka itu.
Urgensinya kita lihat sendiri kan bahwa ujaran kebencian apakah itu teks tertulis, teks di media sosial, tukang khutbah, itu sekarang kan gila-gilaan banget. Sementara aparat di lapangan bimbang. Bimbangnya bukan karena faktor hukumnya, tapi lebih karena sebetulnya; aman nggak saya kalau saya meng-
enforce (kasus) ini. Nah lewat surat edaran ini, Kapolri menekankan kepada seluruh jajaran di bawah agar jangan ragu-ragu. Tapi janÂgan juga sedikit-sedikit dibawa ke ranah hukum jika bisa dideÂteksi untuk dilakukan pencegaÂhan. Kalau tidak bisa (dicegah) barulah ditegakkan hukumnya dengan undang-undang yang ada, dengan pasal-pasal yang ada, yang selama ini tidak dipakai dalam rangka itu.
Lalau bagaimana membeÂdakan ujaran kritik dengan ujaran kebencian?Saya kira beda sekali ya. Kalau kritis itu kan pada kebijakan, seÂmentara ujaran kebencian nggak ada kaitannya dengan kebijakan. (Ujaran kebencian) itu kaitanÂnya dengan variabel-variabel primordial yang dieksploitasi secara negatif oleh orang-orang yang mengutarakannya.
Maksudnya?Maksudnya begini, misalnya Islam itu apa, Kristen itu apa. Lalu benci itu bagaimana, orang Jawa itu bagaimana. Jadi itu yang dieksploitasi, untuk tujuan-tujuan yang bersifat agresif, menyerang. Nah itu kan nggak ada kaitannya dengan kritis.
Tapi kok pasal pencemaran nama baik dimasukkan sebagai bentuk ujaran kebencian, itukan pasal yang sudah dicabut MK?Ya kalau (ujaran) itu meÂnyerang orang, itu memang pencemaran nama baik. Misal; Andrianus brengsek kamu, itu kan pencemaran nama baik kan. Atau Andrianus kamu tukang selingkuh. Itu artinya ada target dan subjeknya.
Nah bedanya dalam hal ini apa?Dalam hal ini kita berbicara mengenai adanya orang yang secara umum mengeneralisir variabel-variabel primordial tadi untuk tujuan-tujuan yang jelek. Misalnya, Islam itu semuanya korup, Kristen itu semuanya munafik, tidak ada orang yang secara langsung tersinggung atau terhina, tetapi jelas ada variabel-variabel yang sebeÂnarnya sudah dieksploitasi oleh yang bersangkutan dengan konÂteks benci.
Kalau tidak ada subjeknya, bagaimana mekanisme penanganan hukum yang ditemÂpuh?Ketika itu terjadi maka negaÂralah yang mengambil peranan, mulai dari mengingatkan dan seterusnya hingga penegakan hukum.
Jadi tidak ada kaitannya dengan pasal karet yang diÂcabut MK itu?Pada konteks itu maka tidak masuk dengan apa yang dilaÂrang atau dicabut oleh MK. Karena kita tidak bicara menÂgenai mencemarkan nama baik, tapi kita berbicara mengenai eksploitasi secara destruktif variabel primordial oleh suatu kalangan demi keuntungannya dalam rangka kebencian pada kalangan tersebut. Pada konteks ujaran kebencian ini tidak ada orang yang dituju. Jadi tidak ada subjeknya. Tapi kalangannya yang lebih dari satu orang.
Contohnya?Misalnya, kalangan Ahmadiyah itu halal darahnya, orang Ahmadiyah kan puluhan ribu. Oleh karena itu tidak ada satu pun orang Ahmadiyah yang angkat bicara, mengadu kepada polisi dan meminta kepada polisi untuk melakukan penegakan hukum.
Kalau tidak ada yang mengadukan?Kalau tidak ada yang menÂgadu, tidak berarti lalu kemudian semuanya berjalan beres. Jika berangkat pada pendekatan Hak Asasi Manusia, maka seyogÂyanya negaralah yang mengamÂbil peranan. Dalam konteks penegakan hukumnya, itu polisi memakai cara polisilah yang mengadukan kepada polisi.
Secara aturan dibenarkan?Dibenarkan. Jadi dengan kata lain yang menjadi pelapornya adalah polisi sendiri. Agar menÂjadi dasar bagi polisi untuk melakukan penyelidikan.
Tapi kayaknya Surat Edaran ini masih sangat rawan disalaÂhartikan oleh petugas polisi di lapangan?Memang betul. Tidak usah Polri yang di lapangan, pimpinan yang pangkat-pangkat tinggi pun nggak ngerti apa itu
hate (speech). Mungkin sekali adanya kesalahpengertian, makanya kami, Kapolri juga sedang genÂcar-gencarnya melakukan soÂsialisasi.
Tapi kenapa Anda getol memperjuangkan masalah hate speech ini? Sebetulnya begini, kami meÂnyadari Polri amat gamang ya ketika ada masyarakat yang begitu leluasa mengeksploitasi variabel-variabel primordial tadi, kami melihat ada yang salah dan harus dibenarkan. Cara memperbaikinya mulai dengan menciptakan undang-undang baru atau Peraturan Pemerintah atau apalah. Kami menduga unÂtuk membuat itu perdebatannya akan sengit sekali, karena banyak orang yang belum sadar dan seÂcara waktu juga akan lama sekali. Maka kami mengusulkan kepada Polri, agar segeralah berbuat sesÂuatu dengan langkah cepat. Agar kemudian anggota anda bisa berÂtindak tegas dan gagah. ***