SEJAK pernyataan kemerdekaan dilontarkan oleh Soekarno-Hatta, hingga saat ini Indonesia telah melahirkan tujuh  Presiden RI. Sayangnya proses pergantian presiden lebih sering dengan akhir yang menyedihkan.  Di awal kemerdekaan Soekarno-Hatta adalah sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai pemimpin Republik Indonesia  pertama yang dimulai tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia karena dialah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila. Â Bung Hatta kita ketahui merupakan salah satu tokoh yang sangat instrumental dalam penyusunan Undang Undang Dasar 1945. Baik UUD 1945 maupun Pancasila sebagai dasar negara masih terus berlaku hingga Indonesia mencapai usia kemerdekaan yang ke 70.
Tapi setelah kita berhasil mengusir Belanda dari bumi pertiwi Indonesia dengan susah payah dan memiliki UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, diujung kepemimpinan Soekarno terjadi gejolak besar persaingan elite antara TNI, Partai Politik khususnya PKI, dengan organisasi masyarakat lainnya. Â Persaingan ini berujung dengan dituduhnya PKI sebagai dalang penghianatan terhadap negara ini dengan membunuh 6 jenderal TNI dan 1 perwira.
Untuk mengamankan situasi politik saat itu, maka Soekarno bersedia menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 yang memberikan wewenang penuh kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjaga keamanan negara dan lembaga kepresidenan. Â Dengan kekuatan Super Semar 1966 itu pulalah Soeharto menyatakan pembubaran PKI dan melakukan pembersihan kader-kader PKI di seluruh lembaga pemerintahan, dunia usaha bahkan organisasi kemasyarakatan.
Akhir tragis kepemimpinan Soekarno dimulai dari penolakan pertanggungjawabannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967. Akibatnya Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden pada Sidang Istimewa MPRS dan pada tahun yang sama Soeharto ditunjuk sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun 1968 Soeharto resmi menjadi Presiden RI kedua dan menjadi orang nomor satu di Indonesia sampai tahun 1998. Â Era kepemimpinan Soeharto , yang lebih dikenal dengan era Orde Baru, berhasil membangun negara yang stabil, mencapai kemajuan ekonomi yang baik dan pembangunan infrastruktur. Â Namun demikian di era Soeharto pulalah selalu dikenang sebagai rezim paling korupsi di negara ini dan melakukan banyak pelanggaran HAM.
Akhir tragis kepemimpinan Soeharto adalah pada tanggal 21 Mei 1998 menyusul memburuknya kondisi ekonomi. Â Baru 70 hari terpilih kembali sebagai presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya dan memberikan puncak kekuasaan kepada B.J. Habibie. Â Soeharto terpaksa rela turun karena orang-orang dekat yang selama ini dibina menolak membantu Soeharto. Â Seorang pemimpin yang awalnya merupakan anugerah bangsa Indonesia terpaksa berhenti dengan menyakitkan.
Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat Presiden RI ketiga dalam kurun waktu tidak lama yaitu hanya dalam satu tahun setengah saja. Â Namun demikian B.J Habibie berhasil kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional IMF dan juga negara-negara donor lainnya untuk program pemulihan ekonomi. Di bidang politik B.J Habibie membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan berorganisasi.
Namun demikian lepasnya Timor Timur dari pangkuan RI telah mencoreng suksesnya B.J Habibie dalam bidang ekonomi. Â Apalagi muncul skandal korupsi Bank Bali yang telah mengambil enerji pemerintah karena melibatkan elite politik dan pengusaha saat itu. Â Akhirnya pada Sidang Umum 1999, B.J Habibie memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Â Kembali sebuah pemimpin yang telah membawa anugerah bagi rakyat Indonesia harus menanggalkan jabatannya karena dihianati oleh segelintir orang yang berada pada organisasi yang disebut MPR.
Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur dilantik sebagai Presiden keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI penuh dengan intrik politik. Â Saat itu Amien Rais menjadi motor Poros Tengah yang berhasil menjegal ambisi Megawati menjadi Presiden dan membawa Gus Dur memenangkan pemilihan Presiden pada Sidang Istimewa MPR. Â Tapi dengan motor Amien Rais pulalah pada tanggal 23 Juli 2001 Gus Dur harus meletakkan jabatannya dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Megawati Soekarnoputri.
Meski memimpin RI dalam waktu yang cukup singkat, Gus Dur berhasil melakukan beberapa terobosan kebijakan. Â Misalnya mencabut pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, mencoba membuka hubungan dengan Israel, membolehkan dikibarkannya bendera Bintang Kejora di Papua, Tahun Baru Imlek menjadi hari libur, mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa. Kesemuanya itu membuat Gus Dur sangat dihargai dan dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
Beberapa langkah strategis Gus Dur lainnya antara lain: pembentukan Komisi Pelaporan Kekayaan Penyelenggara (KPKPN), Komisi Ombusdman, Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi, amandemen asas pembuktian terbalik, usulan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi dan RUU Pencucian Uang, yang sebenarnya sudah dimulai sejak era Presiden Habibie.
Hanya sayangnya di era Gus Dur pula tercatat banyak Menteri-Menteri yang diganti Gus Dur sendiri atau mengajukan permohonan berhenti. Â Hal yang Lebih tragis lagi yang dialami oleh Gus Dur adalah terjadinya perpecahan di PKB, partai bentukan Gus Dur sendiri, Â yang malah membuat Gus Dur tersingkir dari posisi elite politik PKB. Â Hal ini menunjukkan nasib buruk kembali terulang bagi pemimpin Indonesia dijatuhkan dan dilucuti kekuasaannya oleh orang orang dekatnya sendiri.
Setelah Gus Dur diganti oleh Megawati, proses pergantian Presiden jauh lebih lancar terutama setelah Megawati dengan jiwa besar menyetujui pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Â Di mana saat SBY berdampingan dengan JK maju pada pemilihan Presiden tahun 2004, proses pergantian berjalan mulus. Â Bahkan SBY naik bertahan sebagai Presiden RI selama 10 tahun hingga tahun 2014. Â Ini membuktikan semakin dewasanya sistem demokrasi politik di Indonesia.
Namun demikian penghianatan kepada pemimpin yaitu Pesiden RI telah bergeser. Bukan lagi menjatuhkan Presiden melainkan rame-rame melakukan tindak pidana korupsi. Â Di era Presiden Megawati, meskipun lembaga KPK dikukuhkan keberadaannya, beberapa menteri yang dekat dengan Megawati telah terlibat tindak pidana korupsi. Â Antara lain Widjanarko Puspoyo (Dirut Bulog), Theo Toemion (Kepala BKPM), Hari Sabarno (Menteri Dalam Negeri), Rokhmin Dahuri (Menteri Kelautan dan Perikanan), Achmad Sujudi (Menteri Kesehatan).
Sementara di era Presiden RI SBY bahkan tangan kanan SBY yang menjalankan operasional Partai Demokrat juga terlibat korupsi. Seperti yang dilakukan Angelina Sondakh, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Â Jero Wacik, Andi Mallarangeng. Â Termasuk juga Paskah Suzzeta, Suryadharma Ali, Â Sitti Hartati Murdaya, Siti Fadilah Supari dan Irjen (Pol) Djoko Susilo. Bahkan belakangan Dahlan Iskan dan Denny Indrayana juga dijadikan tersangka.
Padahal di awal pemerintahannya, SBY bertekad untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Â Pada kenyataannya tekad SBY tersebut sangat miskin implementasi.
Di era SBY pula para koruptor disediakan fasilitas khusus di lembaga pemasyarakatan, melantik Kepala Daerah yang telah ditetapkan tersangka dan ditangkap KPK, setidaknya 48 koruptor mendapat pembebasan bersyarat, para koruptor masih mendapat dana pensiun. Â Buruknya prestasi SBY dalam pemberantasan korupsi tidak membuat SBY turun di tengah jalan. Â SBY bisa bertahan menjadi Presiden RI selama 10 tahun.
Tahun 2014 Indonesia kembali mendapat anugerah karena seorang Joko Widodo dengan gaya kepemimpinan horizontal atau kepemimpinan untuk semua orang terpilih menjadi Presiden RI ketujuh. Â Model kepemimpinan 3.0 ini tidak melulu mengandalkan jabatan atau menunggu laporan dari bawahan. Melainkan langsung keluyuran atau blusukan ke lapangan dan berdialog langsung dengan masyarakat.
Ternyata model kepemimpinan semacam ini yang sangat didambakan masyarakat sekarang. Sehingga tidak heran apabila Jokowi yang tadinya hanya sebagai pengusaha mebel, kemudian menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan terpilih sebagai Presiden RI mengalahkan tokoh nasional dan militer yangmlebih berpengalaman di timgkat nasional Prabowo Subianto.
Tetapi anugerah rakyat Indonesia atas terpilihnya Jokowi sebagai Presiden RI masih juga terganggu oleh intrik intrik politik. Â Memang Jokowi, saat dicalonkan menjadi Presiden, belum berpengalaman dan berada pada politik tingkat nasional. Â Jaringan nasional dan internasionalnyapun masih sangat kurang.
Tetapi sungguh tidak pantas apabila partai pendukung utama Jokowi yaitu PDIP malah seringkali menjatuhkan kewibawaan seorang Presiden. Â Misalnya dengan menyatakan Jokowi sebagai petugas partai, atau banyak kritik terbuka dari kader PDIP kepada Jokowi. Â Belum lagi masih banyaknya kader partai yang tergabung dalam KIH mulai terlibat dalam tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi pada Patrice Rio Capella, O.C. Kaligis dari Partai Nasdem dan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura.
Di samping itu kinerja Kabinet Kerja Jokowi-JK masih jauh dari harapan dan janji-janji yang pernah dikumandangkan mereka saat kampanye dalam Program Nawa Cita. Â Pertanyaannya apakah kembali kita ingin menyia-nyiakan anugerah yang diberikan Maha Kuasa dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden?
Dalam kehidupan sehari hari dan pribadi kita masing-masing, situasi semacam itu memang sering terjadi. Â Anugerah memperoleh pekerjaan, jabatan tinggi, penghasilan baik, atau teman hidup dan sahabat, secara mudahnya kita balikkan menjadi musuh kita. Di awal kita dielu-elukan pada akhirnya dibenci. Â Itulah memang sifat manusia yang tidak pernah puas.
Tetapi khusus untuk kepemimpinan nasional pada seorang Presiden RI, kita tidak boleh menyia-nyiakan atau menghianati anugerah tersebut. Kita harus membuka pintu maaf kepada mereka. Dan di bulan November ini, ada layaknya kita mengenang sisi baik para mantan pemimpin republik ini. Â Sehingga dengan hati terbuka kita berikan gelar Kepahlawanan Nasional baik kepada Soeharto dan Gus Dur dan pemimpin lainnya.
Joyce Meyer pernah berkata,
Positive minds produce positive lives. Negative minds produce negative livesâ€.  Sebagai bangsa besar, sudah layaknya kita selalu mengingat hal hal positif dari pemimpin masa lalu kita.  Karena mereka adalah anugerah buat bangsa ini, betatapun sedikitnya jasanya buat kita. Selamat Hari Pahlawan!
[***] Penulis adalah Sosiolog, anggota senat Indonesia Marketing Association dan tinggal di Jakarta.