Tak hanya Menko Luhut Pandjaitan yang sibuk menghÂadapi kabut asap, menteri asal Partai Nasional Demokrat ini juga pontang-panting ikut memantau upaya pemÂadaman kebakaran hutan dan lahan. Kamis (29/10) lalu sebelum menghadiri rapat di DPR, dan bertolak ke Palembang Sumatera Selatan, Rakyat Merdeka mencuri waktu mewawancarai Menteri Siti di kediamannya di Jakarta. Disuguhi bubur ayam, dan teh hangat, Menteri Siti memulai bincang-bincang;
Kementerian Anda dinilai gagal mengatasi bencana kaÂbut asap. Bagaimana anda menyikapinya?
Saya nggak mau mengomenÂtari soal itu. Itu hak prerogatif Presiden. Saya kerja saja. Di luar itu perlu saya jelaskan bahwa yang kita tangani ini kan sebetulnya adalah akumuÂlasi dari banyak masalah di waktu-waktu yang lalu. Dan itu sekarang semua secara simultan kita selesaikan. Dan tidak seÂmua tahap-tahap penyelesaian itu diketahui dengan baik oleh publik. Karena yang nampak visualisasi fisik kan pemadaÂmannya, apinya. Dan kita pun sebetulnya di beberapa tempat itu kementerian yang melakukan (pemadaman api). Tapi kalau api-api besar, di lahan gambut seperti di Sumatera Selatan itu baru bersama-sama (BNPB, TNI/Polri dan bantuan asing). Sebab kita nggak punya juga armada yang cukup.
Lantas saat ini progress peÂmadamannya seperti apa. Apa bisa tahun depan negara kita tak jadi produsen asap?
Lantas saat ini progress peÂmadamannya seperti apa. Apa bisa tahun depan negara kita tak jadi produsen asap? Bisa. Pada dasarnya pendekaÂtannya sudah ketahuan kok. Coba tiru di Riau aja, tiru aja cara kerÂjanya. Dari bulan Desember ke Februari kita nyelamatin Riau.
Apa Indikator bahwa penyeÂlamatan di Riau sukses? Indikatornya adalah peristiwa-peristiwa di Singapura. Kan ada SEA Games, bulan Juni itu kan juga panas sebetulnya. Tapi bisa kita kontrol apinya, setiap ada padamin. SEA Games pun berjalan nggak terganggu asap. Kemudian yang dahsyatnya waktu F1 Grand Prix, kan nggak terganggu juga. Jadi sebetulnya sedahsyat-dahsyatnya Riau itu bisa dikontrol.
Kenapa di Sumatera Selatan tidak bisa terkontrol? Karena yang terbakar itu gamÂbutnya luas. Tahu nggak berapa, puluhan ribu (hektar) terbakar di dalam satu blok. Itu berat. Saya saat berada di atas udara melihat apa yang terjadi, gelap asapnya. Di Kalteng lebih gelap. Tapi pada dasarnya bisa diselesaikan. Kalau ditanya apa Menteri bisa menjamin, ya sulit lah, alam dan dari Tuhan juga kan. Ya kita berdoa juga. Yang paling penting manusianya berusaha, komitmennya dilaksanakan.
Bagaimana proses penegakÂkan hukumnya? Itu bagian keduanya, penegakan hukum. Walaupun penegakan hukum itu ada dua bagian, jalurnya Polri pidana dan jalurnya KLHK itu pidana, perdata, adÂministrasi.
Jalur Polri atau LHK itu berÂsama-sama di Jaksa Agung. Di Bareskrim Mabes Polri atau di Polda kita juga kerjasama. Jadi dukungan saksi ahli, investigasi bersama, itu kita lakukan. Jadi, operasional kerjanya bersama kami.
Nah sekarang yang tertumpu di KLHK itu adalah yang perdata dan administratif. Strateginya yang administratif yang mendÂesak, kalau nggak beres cabut izin atau kita bekukan, atau kita beri sanksi administrasi yang keras. Kan kebijakan Presiden jelas, areal yang terbakar diambil oleh negara. Yang besar dan blok-blok itu diatur untuk mengatasi resÂolusi konflik. Masyarakat yang tidak punya tanah, konflik dengan perusahaan itu bisa kita kelola. Bisa untuk ilmu pengetahuan dan restorasi ekosistem. Dan untuk perluasan kesempatan kerja.
Undang-Undang 39 Tahun 2002 mengizinkan membakar lahan dua hektar per KK. Ini bagaimana? Itu sedang kita siapkan untuk direvisi. Di dalam penjelasan unÂdang-undang itu dikatakan ada kearifan lokal. Selama ini yang terjadi di lapangan, kearifan ini kemudian teradopsi oleh umum dan perusahaan. Indikasinya seperti itu. Kalau mau direvisi bisa dua macam, pertama dihaÂpus sama sekali. Pilihan kedua adalah mempertegas bahwa itu (membakar lahan dua hektar/ KK) hanya boleh dilakukan oleh masyarakat adat.
Kalau menunggu revisi unÂdang-undang kan lama? Kalau kebutuhannya mendesak, Perppu mungkin adalah piÂlihan yang harus dipertimbangÂkan. Sambil mempertegas bahwa kebakaran juga merupakan salah satu unsur perusakan hutan. Karena di Undang-Undang 18 tahun 2013 nggak terlalu tegas terkait kebakaran. Itu harus kita sebutin. Selanjutnya adalah perÂlindungan lahan gambut. Saat ini lahan gambut yang sudah berizin itu sudah sangat luas. Dari 31 juta hektar lahan gambut di Indonesia yang di kehutanan aja, yang berizin itu sudah delapan juta (hektar) lebih. Belum yang perkebunan, belum yang HGU-HGU. Kalau menurut data LHK itu 550 ribu (hektar) lebih yang terbakar, lahan gambut itu. Dan sangat dahsyat itu. ***