nasaruddin umar/net
nasaruddin umar/net
PERDEBATAN tentang kedudukan legalitas formal sebuab nama atau simbol keagamaan terjadi sejak awal Islam. Mestikah nama itu diprioritaskan sungguhÂpun harus mengorbankan substansi? Atau mestikah substansi itu dikedepankan sekalipun belum memiliki wadah formal? Pertanyaan ini muncul semenÂjak Nabi Muhammad Saw. Mungkin masih inÂgat dengan artikel terdahulu dalam kolom ini dijelaskan peristiwa perjanjian Hudaibiyah, sebuah peristiwa yang menampilkan tarik meÂnarik antara kekuatan simbol dan kekuatan substansi. Delegasi perundingan Hudaibiyah dari pihak muslim langsung dipimpin Rasulullah dan Pasukan Kafir Quraisy dipimpin oleh SuÂhail. Cerita perjanjian Hudaibiyyah ini diriwayatÂkan di dalam Kitan Shahih Bukhari yang tak diÂragukan lagi keshahihannya.
Riwayatnya adalah ketika dilakukan peÂrundingan gencatan senjata antara umat IsÂlam dan kaum kafir Quraisy. Sebagai preamÂbul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asÂing baginya, lalu ia mengusulkan kalimat bisÂmikallahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu. Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjiÂan ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata: Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapÂkan oleh Muhammad putra Abdullah). PencoreÂtan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanÂjian itu, namun Rasulullah meminta para sahaÂbatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penÂnulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu perinsip dasar aqidah.
Sepintas memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu aqidah, berupa penÂcoretan kalimat Rasulullah tadi, namun RasuÂlullah tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk menÂgatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Rasulullah tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senÂjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Rasulullah itu. Seandainya saja Rasulullah hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti ia tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa Rasulullah di samping seorang cerdas juga ia seorang Nabi. Mungki ini pula yang menginspirasi para the Founding Father bangsa Indonesia, memiÂlih mencoret beberapa kalimat dari Piagam JaÂkarta demi mempertahankan keutuhan bangsa dan keutuan bangsa ketika itu jauh lebih banÂyak mendatangkan maslahat ketimbang memÂpertahankannya.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:45
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:05
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:51
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:24
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:50
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:25
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:42
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:25