nasaruddin umar/net
nasaruddin umar/net
ALIRAN Maqashid dalam tuÂlisan ini dimaksudkan sebaÂgai kelompok yang mengemÂbangkan ilmu fikih dengan mengedepankan tujuan esÂensi Syari'ah (al-maqashid al-syari'ah) sebagai dasar penetapan hukum. Aliran ini berani menggunakan akal di dalam memahami ayat dan hadis lalu menetapkan hukum. Pertimbangan utama kelompok ini bukan berhenti pada waÂcana teks kebahasaan tetapi lebih mengacu kepada apa yang sesungguhnya yang menjadi tujuan akhir (final goal) dalam sebuah teks. KelÂompok yang tergabung di dalam aliran ini umÂumnya mereka tidak begitu peduli klaim orang terhadapnya. Apakah mereka akan diklaim sunny, syi'ah, moderat, bahkan liberal, tidak ada urusan baginya. Mereka sangat yakin pada dirinya sendiri bahwa dengan merujuk kepada maqashid al-syari'ah berarti mereka melakukan sesuatu yang besar. Bukan hanya mengangkat rasa percaya diri umat dengan mendekatkan antara nilai-nilai luhur ajaran dengan lingkunÂgan pacu kehidupan. Semakin jauh berjarak antara agama dan penganutnya bisa diartikan semakin jauh hamba dari Tuhannya.
Di antara nama yang sering dirujuk ketika membicarakan aliran maqashid ini ialah Abu Ishaq Al-Syathibi (W.790H) dengan buku monÂumentalnya: Al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari’ah (4 jilid versi editing Dr. Abdullah Darraz). Dalam kitabnya ia memperkenalkan konsep Maqashid al-Syari'ah yang initinya memperkenalkan setÂiap persoalan yang muncur diukur berdasarkan apa yang menjadi tujuan umum Syari'ah. Jika ulama salam memperkenalkan kaedah: "Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab" (al-‘ibrah bi 'umum al-lafz, la bi khushush al-sabab) atau kaedah sebaliknya: "Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz" (al-'ibrah bi khushus al-sabab, la bi 'umum al-lafz), maka Al-Syathibi mempperkenalkan kaeÂdah: "Yang dijadikan pegangan ialah apa yang paling sesuai dengan tujuan Syari'ah" (al-'ibrah bi maqashid al-syari'ah).
Kelompok ini berani melakukan ta'wil terhadap sejumlah ayat hukum demi untuk mendapatkan kepastian dan keadilan hukum yang sesuai denÂgan nurani kecenderungan umum masyarakat. Misalnya, di dalam memahami ayat: Al-sariq wa al-sariqah faqtha'u aidiya huma (Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah kedua tangannya). Ia memahami ulang ayat itu dengan: Pencuri laki-laki dan perempuan lumpuhkanlah kekuatannya untuk mencuri. Kata qath’ tidak diartikan memoÂtong tetapi melumpuhkan, dan kata yad tidak diarÂtikan tangan tetapi kekuasaan. Dengan demikian, mengurung para penncuri sekian lama di Pulau Nusa Kambangan lebih dekat kepada esensi tuÂjuan Syari'ah untuk menciptakan keadilan dan rasa aman, ketimbang memuntungkan tangan pencuri terus dilepas.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37
Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10
Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29
Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12
UPDATE
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:45
Sabtu, 20 Desember 2025 | 05:05
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:51
Sabtu, 20 Desember 2025 | 04:24
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:50
Sabtu, 20 Desember 2025 | 03:25
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:59
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:42
Sabtu, 20 Desember 2025 | 02:25