Ginandjar Kartasasmita/net
Baru-baru ini Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UImeluncurkan buku "Reinventing IndoneÂsia" karya Ginandjar Kartasasmita yang ditulisnya berÂsama (co-author) Joseph Stern, Profesor Kennedy School of Government, Universitas Harvard. Buku ini mengkaji krisis ekonomi tahun 1998 yang telah memicu reformasi politik dan perubahan sistem pemerintahan.
Buku ini seperti pas diluncurkan di saat ekonomi Indonesia sedang di ambang krisis. Bahkan, banyak yang menyebut krisis sekarang tanda-tandanya sudah mirip sepÂerti 1998, walaupun pemerintah dan sejumlah pengamat ekonomi membantahnya. Lalu, seperti apa isi buku ini? Apa pandangan Ginandjar soal kondisi ekonomi saat ini dan bagaimana bandinÂgannya dengan krisis ekonomi 1998? Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Ginandjar, yang pada saat krisis 1998 itu menjabat sebagai Menko Ekuin.
Dalam buku Reinventing Indonesia, Bapak membahas Krismon 1998 yang sangat dahsyat dan bagaimana pemerÂintah mengatasinya. Sekarang banyak kalangan mengatakan kita sedang mengalami situasi yang hampir sama dengan waktu itu. Bagaimana pandanÂgan Bapak?
Memang ada gejala-gejala yang mirip. Seperti, krisis ekonomi Asia 1998 juga dimulai dari luar negeri dan menjalar ke Indonesia. Mata uang kita menurun drastis. Kita waktu itu diserang juga oleh El Nino. Tapi antara keduanya lebih banyak bedanya. Penyebab masalahnya berbeda. Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1998 juga beda dengan di taÂhun 2015.
Memang ada gejala-gejala yang mirip. Seperti, krisis ekonomi Asia 1998 juga dimulai dari luar negeri dan menjalar ke Indonesia. Mata uang kita menurun drastis. Kita waktu itu diserang juga oleh El Nino. Tapi antara keduanya lebih banyak bedanya. Penyebab masalahnya berbeda. Kondisi ekonomi Indonesia di tahun 1998 juga beda dengan di taÂhun 2015.
Kondisi politiknya juga beda. Krisis ekonomi memicu krisis politik karena tatanan politik pada waktu itu memang rapuh. Pak Harto berkuasa lebih dari 30 tahun, selama itu kebebasan hak azasi dan hak politik terÂsumbat.
Masyarakat menghendaki perubahan. Apa yang terjadi waktu itu adalah krisis ekonomi memicu krisis politik dan krisis politik menyebabkan krisis ekonomi makin dalam.
Mungkinkah krisis ekonomi sekarang mengakibatkan pula krisis politik seperti di tahun 1998?Saya kira ekonomi kita sekaÂrang belum sampai pada taraf krisis. Memang sudah makin kritis dan kalau tidak tertangani dengan baik dapat saja menjadi krisis. Kalau misalnya rupiah terus menghunjam, mengakiÂbatkan runtuhnya dunia usaha, terjadinya banyak PHK, harga-harga melambung tinggi, dan yang terkena dampak paling keras adalah rakyat kecil di perkotaan dan di perdesaan, serta kelas menengah dan berÂpenghasilan tetap.
Dapatkah mengakibatkan terjadi krisis politik?Tatanan politik kita sekaÂrang sudah jauh lebih kuat dibanding1998. Presiden-nya baru saja terpilih melalui demokrasi. Institusi-institusi kenegaraan berfungsi relative baik, meskipun kalau ditelisik satu persatu banÂyak kelemahannya. Prosedur perÂgantian pemerintahan juga diatur jelas dalam UUD. Kalaupun terjadi situasi krisis, misalnya karena rasa ketidak puasan yang meluas, rakyat kehilangan keperÂcayaan pada institusi demokrasi, terjadinya kegaduhan-kegaduÂhan, saya kira apa yang terjadi di tahun 1998 tidak perlu terjadi, selama dapat selalu dijaga tidak jatuh korban. Lagipula, kecuali segelintir kaum ekstrimis siapa sih yang pingin kerusuhan politik terjadi?
Pemerintah sudah menÂgeluarkan paket kebijakan September-1, bagaikan panÂdangan Bapak soal ini?Terus terang saya belum jelas. Sepengetahuan saya, sebatas dari koran, konten-nya baik-baik saja.
Tapi kenapa tidak berÂdampak pada perbaikan nilai rupiah atau saham?Itulah, memang tidak ada trakÂsi-nya. Saya rasa konfidens pasar tidak tergugah. Kan yang keluar baru pernyataan kebijakan yang akan dikeluarkan. Dulu, baik pada masa Pak Harto maupun Pak Habibie, Paket-paket keÂbijakan itu diumumkan setelah semuanya siap. Artinya apakah PP, Keppres, Inpres, Kepmen, semua sudah siap dan sudah ditanda tangani waktu diumumÂkan. Karena itulah dinamakan Paket. Sekarang yang kita denÂgar kan baru niat, kebijakannya sendiri belum kelihatan. Ya, wajarlah kalau pasar menunggu. Menurut pengalaman saya buÂkan begitu cara memulihkan kepercayaan pasar.
Tapi kan yang mengumumÂkannya Presiden sendiri. Mustinya kredibel, dong.
Itulah, yang berbeda lagi dengan kebiasaan di waktu lalu. Dulu, paket-paket kebijakan tidak pernah diumumkan oleh Presiden. Biasanya, setelah Sidang Kabinet diumumkannya. Dengan deÂmikian dikesankan sepengetahuan Presiden. Tapi tanggung jawab selalu ada pada Menteri yang berÂsangkutan. Untuk itu ada Menteri, ada Kabinet. Kalau berhasil, yang berhasil adalah Presiden. Kalau tidak berhasil, yang gagal adalah Menterinya. Itu prinsip dalam manajemen publik.
Nada Bapak kok terkesan pesimis...Wah, mana mungkin saya boleh pesimis. Saya kan pendukung Jokowi-JKdalam Pilpres lalu. Saya ikut kampanye memenangÂkan Jokowi-JK. Tentu saya ingin Pemerintah ini berakhir dengan baik, tercatat dalam sejarah sebaÂgai pemerintah yang sukses.
Jadi Bapak optimis?Tapi, kesuksesan itu tidak terjadi dengan sendirinya. Harus diupayakan. Hanya bisa terjadi kalau Presiden didukung oleh pembantu-pembantu yang bukan hanya kompeten tapi mampu bekerja sama dengan baik. Dulu kami selalu menyebut menteri-menteri ekonomi sebagai "tim ekonomi". ***