Terus melemahnya nilai tukar rupiah dan perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi peringatan tersendiri bagi pemerintah bahwa ancaman krisis sudah di depan mata.
Kondisi yang terjadi bukan hanya menyebabkan daya beli masyarakat melemah, namun juga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) karena aktivitas produksi yang terganggu.
"Kondisi perekonomian nasional hari ini jauh lebih komplek dibanding krisis keuangan tahun 1998 yang lebih didominasi oleh persoalan moneter khususnya nilai tukar negara-negara di Asia. Hari ini, perekonomian nasional dan global selain menghadapi masalah nilai tukar mata uang juga menghadapi perlambatan yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir," ujar Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad dalam diskusi Forum Senator untuk Rakyat bertema 'Ekonomi PHP Nyatanya PHK' di resto Dua Nyonya, Cikini, Jakarta (Minggu, 6/9).
Farouk memaparkan kondisi perekonomian nasional hari ini dipengaruhi oleh faktor internal yang tidak kondusif. Rendahnya daya serap APBN dan juga APBD telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional melambat hanya sekitar 4.9 persen pada semester I 2015.
Selain itu, pemerintah tidak memiliki kebijakan industri yang mendukung proses transformasi industri berbasis komoditas manufaktur, sehingga perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Di bidang perdagangan, rendahnya daya saing ekspor nasional karena lebih didominasi oleh ekspor komoditas dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan perdagangan internasional Indonesia selalu defisit. Pemerintah tidak siap mengantisipasi jatuhnya harga barang-barang komoditas, seperti crude palm oil (CPO), karet, batu bara dan minyak bumi sehingga menyebabkan pendapatan nasional tergerus signifikan. Ditambah tidak solidnya koordinasi kebijakan antara sektor moneter dan fiskal menyebabkan kurangnya daya dukung masing-masing kebijakan dalam mengatasi permasalahan ekonomi dan nilai tukar.
"Pemerintah tidak bisa lagi berlindung di balik kondisi perekonomian global yang melambat, tetapi juga harus melihat kondisi internal. Banyak persoalan ekonomi dalam negeri yang memiliki potensi untuk menjadi masalah besar di kemudian hari," jelas Farouk.
Dia menambahkan, memburuknya perekonomian nasional telah memberikan implikasi terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Antara lain konsumsi masyarakat sebagai penopang pertumbuhan mengalami penurunan, akibat dari daya beli masyarakat yang berkurang. Kemudian, upah riil masyarakat mengalami penurunan sebagai akibat dari semakin mahalnya biaya hidup, tetapi di sisi lain pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan. Terlebih, biaya produksi sektor industri mengalami peningkatan sebagai akibat depresiasi nilai tukar rupiah.
"Dampak terbesarnya adalah perusahaan melakukan PHK yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial di tengah masyarakat. Tingkat pengangguran dan kemiskinan akan meningkat tajam, tentu saja kondisi ini sangat rentan bagi stabilitas ekonomi dan sosial," bebernya.
Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan segera kebijakan-kebijakan jangka pendek yang bersifat efektif, tepat sasaran dan konsisten, sebagai solusi jangka pendek yang bisa meredam dampak dari kondisi ekonomi yang semakin memburuk, agar jika terjadi krisis ekonomi pemerintah sudah siap dengan menghadapainya.
"Menggerakkan sektor riil yang bersifat padat karya sehingga bisa memulihkan daya beli masyarakat. Mengoptimalkan peran UMKM dalam mendorong konsumsi masyarakat tetap stabil dan Konsisten membangun ekonomi dari pinggir khususnya dalam bidang maritim, infrastruktur, pertanian dan Energi. Seperti janji Nawacita pemerintah," tegas Farouk yang merupakan legislator asal Nusa Tenggara Barat.
[wah]